Yoyon memulai langkahnya hingga masuk ke dunia BandarSia, ia mendapati tempat yang lapang dengan langit yang cerah, pepohonan rimbun dan tinggi terlihat dari kejauhan. Beberapa pemukiman penduduk juga ada.

"Di mana ya ini?" mata Yoyon tak henti-hentinya menatap sekitar.

Tiba-tiba ia dikejutkan dengan sekumpulan robot-robot tinggi besar berukuran kurang lebih enam meter, berjalan ke arahnya. Yoyon mulai mundur perlahan. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan, mungkin saja robot-robot itu dikirim untuk membunuhnya. 

"Tetap ditempatmu, orang asing," suara itu berasal dari salah satu robot yang ada dan berada paling depan. Yoyon langsung terdiam tidak berkutik, tubuhnya spontan mematuhi perintah tadi.

Pasukan robot itu kemudian berhenti dihadapannya, tidak lama kemudian keluarlah manusia dari tempat kokpit robot-robot itu. Berseragam lengkap dengan senjata mirip senapan laras panjang. 

"Angkat tangan!!" salah seorang dari mereka mengarahkan senjatanya pada Yoyon, segera pemuda itu mengangkat tangannya tanpa perlawanan.

"Kau ... siapa yang menyuruhmu masuk ke dunia ini? Apa alasanmu datang ke sini?"

Pertanyaan yang membingungkan untuk seorang Yoyon, pemuda yang lugu dan tidak terlalu cerdas itu hanya bisa ternganga dengan apa yang disampaikan oleh pasukan yang entah datang dari mana mengintrogasi dirinya.

"M ... maaf semuanya, aku hanya seorang mahasiswa yang mencari teman-temanku. Ku lihat mereka masuk ke bangunan, lalu tiba-tiba--"
"Pria dengan jas hitam menyuruhmu masuk ke gerbang, iya kan?" Seorang prajurit perempuan menyela kalimat Yoyon. 

"I ... iya, kenapa kalian bisa tahu?" Yoyon tertegun dengan wajah polosnya.

Mereka tertawa kecil, sedikit mengejek. Yoyon hanya berdiam, apa yang harus ia lakukan, ia tidak menyangka situasi akan jadi serumit ini baginya. "Kau tidak akan bertahan sendirian di luar sini, nanti akan kami jelaskan semuanya. Untuk saat ini kau jadi tahanan kami, Evan borgol dia."

Segera salah seorang prajurit memborgol Yoyon dengan borgol listrik otomatis, borgol yang tidak pernah Yoyon lihat dalam dunia aslinya. Mereka pun membawa Yoyon pergi dari tempat itu dengan robot-robotnya. 

Selama perjalanan tidak henti-hentinya ia berdecak kagum, selama hidup baru kali ini ia melihat sebuah tempat dengan
 teknologi secanggih ini, saat masuk ke gerbang tempat itu Yoyon disambut dengan robot-robot berbentuk mirip seperti manusia, warnanya putih perak dan memiliki kecerdasan buatan yang canggih, tempat itu juga mengejutkannya dengan kendaraan yang tidak lazim, entah Yoyon menyebutnya apa, tapi yang jelas ada yang seperti kapsul terbang dengan kecepatan tinggi, ada pula yang mungkin di dunianya sejenis motor tapi tidak beroda dan lainnya.

Kini mereka semua tidak lagi berada dalam robot tadi atau biasa disebut mecha. Mereka mulai berjalan kaki menyusuri seisi kota.

"Menurutmu, kita apakan dia?" Evan berbisik pada Nina, perempuan yang sejak tadi berada didekatnya. "Apa mungkin dia bisa kita manfaatkan?"

"Entahlah, pertama kita harus tahu dulu asal usul pemuda ini. Dia tampak kebingungan dan polos, jadi kita tidak bisa langsung menilai semuanya sekarang." jawabnya saat melihat Yoyon terus menatap sekitar tempat itu.

"Keren kan? Kota atau tempat ini dinamakan Arthaya. Kota penuh teknologi dan robot." salah seorang prajurit memulai percakapan, "Ngomong-ngomong namamu siapa Nak?" 

"Yoyon Pak, iya aku belum pernah melihat hal-hal sehebat ini sebelumnya."
"Tempat ini jauh lebih berkembang dan lebih maju daripada duniamu yang dulu, hahaha." prajurit itu tertawa.

Kini mereka telah sampai pada sebuah tempat besar, dalam pikiran Yoyon mungkin ini sejenis kantor polisi, banyak robot bersenjata khusus yang keren dan mereka semua terlihat gagah.

"Ayo masuk." ucap Nina sembari menggiring Yoyon menuju bangunan megah nan canggih itu.


***

Marton kini sedang dalam perjalanan menuju Arias, tempat itu cukup jauh karena harus melewati beberapa tempat untuk sampai tapi dia tidak kesulitan, pekerjaan ini bukan sekali dua kali ia lakukan, beberapa kali ia berhenti untuk beristirahat dan mencoba mengumpulkan informasi yang bisa didapatnya dari masyarakat setempat. 

Memang berat dan melelahkan melakukan perjalanan tanpa naga kesayangannya itu, tapi ini juga bagian dari misinya untuk menyamar dan berbaur dengan orang-orang agar dapat mengumpulkan informasi musuh kerajaan. "Kau sudah dengar? Pasukan revolusi saat ini sedang mengumpulkan kekuatan," ucap seseorang yang sedang berkumpul dengan teman-temannya di Bar.

Marton yang duduk tidak jauh dari meja mereka mulai mendengarkan dengan seksama. "Aku tambah lagi." ucap Marton pada barista sambil meletakkan gelasnya. 

"Yang benar? Mereka berani sekali ya menantang kerajaan,"
"Tapi bukankah ini lebih baik? Kita sudah tidak sebebas dulu, ketika raja yang dulu memerintah,"
"Sebenarnya bukan masalah revolusinya, yang jadi permasalahan adalah apakah mereka bisa setara dengan setiap jenderal yang setia pada raja Suhndi?"

Percakapan terus berlanjut, Marton tidak bergeming mendengarkan setiap kata yang diobrolkan oleh mereka. Beberapa kali hatinya geram ingin segera membereskan para bedebah yang mencoba mengancam rajanya, namun hatinya ditahan demi mendapatkan informasi lebih banyak.

Percakapan mereka usai, Marton mendapatkan beberapa hal penting darinya. Ternyata benar, semua yang ada di dalam daftar yang diberikan Suhndi bahwa negara atau kota-kota itu sedang mempersiapkan sesuatu untuk melawan kerajaan. Kali ini aliansinya sepertinya lebih besar dibandingkan saat dulu. 

Mereka yang berbincang tadi menghentikan obrolannya ketika merasakan hawa yang berat dan menyeramkan dari salah satu sisi ruangan, ketika mereka menoleh pada sisi yang dimaksud, ternyata tidak ada siapapun selain barista yang sedang mengelap gelas dengan kainnya.

Marton kembali melanjutkan perjalanan dengan kuda miliknya, gerakan kaki kuda semakin dipercepat agar dirinya segera sampai di Arias, tapi ia tidak perlu terlalu buru-buru karena jika hanya dengan kuda, seberapa cepatnya ia memacunya akan sampai dalam dua minggu kecuali kuda yang memiliki sayap seperti pegasus. 

***

Kedua murid Alwendi itu telah kembali ke sesi latihannya, kini mereka kembali bertarung dengan imbang. Semua otot dan indra mereka seakan telah menyatu pada Aura miliknya, "Baik, sekarang kita masuk ke latihan selanjutnya." Alwendi menepuk tangan memberi aba-aba agar Larman dan Arwan segera berhenti.

"Latihan apa itu Master?" tanya Arwan.
"Kalian akan menjalani latihan perjalanan, latihan ini mengharuskan kalian menjelajah hutan yang ada di belakang kalian itu, melewati beberapa tempat di alam liar sampai menemukan pendopo atau pondok kecil sebagai tanda berakhirnya latihan," jawab Alwendi.
"Kami hanya disuruh berjalan saja untuk sampai kesana? Mudah sekali itu haha," Arwan tertawa kecil.

Alwendi yang melihat kepercayaan Arwan mulai menyeringai, tapi ia melihat Larman tetap serius mendengarkan. "Kalau mudah, bukan latihan namanya," Alwendi menjawab Arwan sambil mengangkat bahu.

"Tiarod," panggil Alwendi pada temannya itu. 

Segera Tiarod datang dengan membawa dua buah kotak berwarna merah dan biru. "Kalian akan berjalan sambil membawa dua benda ini," Tiarod menjelaskan.

Kedua murid Alwendi itu mulai menerka apa isi dibalik dua kotak itu.