Sorak sorai kemenangan terus bergema ketika sang lawan pria itu telah jatuh tersungkur ke tanah. Wajah pria yang menang tadi mulai tersenyum tipis, keringat membasahi sekujur tubuhnya. Ia tidak terlalu menghiraukan pujian-pujian yang ada di sekelilingnya.
"Kau hebat Nak!"

"Dia menang lagi,"

"Kalau besar nanti, aku ingin jadi sekuat dia,"

Begitulah sorak sorai para penonton yang ada, Larman semakin terkagum-kagum dibuatnya. "Siapa sih orang ini?" begitu pikir Larman.

Akhirnya para penonton mulai pulang meninggalkan arena bertarung mereka tadi, pria yang tak sadarkan diri tadi juga sudah dibawa ke tempat lain. Beberapa orang menepuk-nepuk bahu sambil berbicara kecil pada pria yang telah menjatuhkan lawannya itu. 

Sekarang hanya tersisa Larman yang masih diam mematung, seakan lupa sekelilingnya telah sepi. Pria tadi hendak pergi, namun ia menoleh ke arah Larman dan mulai heran.

"Hei, kenapa kau?" tanya pria itu seraya berjalan mendekati. 

Seketika Larman terbebas dari lamunan panjangnya, ia baru menyadari pria itu sudah dihadapannya saat ini. Tinggi pria itu cukup tinggi, mungkin hampir sama dengan Master Alwendi.

"E ... ehh, tidak Bang. Tadi pertarungannya bagus hehe," Larman mencoba mencairkan suasana. Walau masih terlihat dari raut wajahnya gugup.

"Oh, kau baru ya di sini? Atau mungkin kau memang bukan orang sini?" pria itu bertanya dengan santai, "siapa namamu?"

"Iya, aku baru saja sampai di sini, tadi kulihat orang-orang berkumpul di sini. Ternyata sedang ada yang mengadu kekuatan, namaku Larman Bang, kalau Abang?"

"Oh, rupanya gerbang terbuka lagi," gumam pria itu sambil mengangkat kepalanya. "Namaku Tiarod, salam kenal ya. Ada keperluan apa kau di sini Larman?"

Larman menjelaskan situasi yang ia alami dari awal hingga bagaimana ia bisa berada di tempat ini. Tiarod hanya mengangguk-angguk pelan, hingga ia tahu siapa yang akan mengajari Larman dan temannya itu latihan kekuatan.

"Alwendi ya?"

"Abang kenal siapa dia?" tanya Larman.

"Kami dulunya satu perguruan, aku cukup dekat dengannya. Sudah dulu ya." Tiarod beranjak pergi meninggalkan Larman dari tempatnya berdiri. 

Larman masih terdiam beberapa saat dan ia lupa menanyakan kenapa ada perkelahian tadi kepada Tiarod karena ia masih kagum sekaligus bersemangat dengan apa yang baru saja dialaminya tadi. Jika kekuatan itu yang akan diajarkan oleh Master Alwendi tentunya akan menjadi modal besar bagi mereka untuk mengalahkan Suhndi.

Larman bergegas pulang, hari sudah mulai gelap. Ingin rasanya ia menceritakan pengalamannya tadi kepada Arwan, ketika sudah berada di dekat pintu depan rumah, Arwan segera muncul, ia terheran-heran saat melihat temannya itu berlari sampai napasnya terengah-engah.

"Darimana kau Man? Kenapa lari-lari begitu?" 

"Aku ... huff ... huff ... tadi ...." Larman mencoba menjelaskan tapi ia masih kesulitan bicara karena kelelahan.

"Hei hei, tenang dulu. Tarik napas yang dalam," Arwan menepuk-nepuk punggung Larman, mencoba menenangkannya.

Setelah tenang dan tarikan napas Larman teratur, ia segera menceritakan apa yang ia alami tadi. Arwan cukup terkesima dengan ceritanya. "Oke oke, kita simpan kekagumanmu dulu ya. Mari kita masuk, kita dipanggil makan tadi." Arwan berjalan masuk meninggalkan Larman yang mengikuti langkahnya dari belakang.

Saat makan malam, Larman dan Arwan tidak banyak berbicara kepada Alwendi, mungkin karena belum terlalu akrab, jadinya ia tidak banyak bicara. Sesekali Alwendi menanyakan beberapa hal terkait masa lalu mereka, cukup mengesankan pikir Alwendi. 

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka sudah dibangunkan oleh pelayan rumah Alwendi, ia mengatakan bahwa mereka sudah ditunggu di lapangan belakang. Larman dan Arwan bergegas, mereka segera bersiap. Walau mereka tahu ini latihan hari pertamanya, mereka tidak bermaksud datang terlambat, terkadang waktu tidur mereka yang tidak menentu hingga membuatnya sulit bangun.

"Ayo Wan." 

"Hoaaam ...." 

Mereka saling berkejaran menuju lapangan belakang, pelayan yang melihat itu hanya bisa geleng-geleng kepala lalu melanjutkan pekerjaannya.

"Kenapa kalian Terlambat?! Padahal ini latihan hari pertama kalian!" marah Alwendi pada mereka.

"Maaf Master, kami ketiduran," jawab Arwan.

"Dasar kalian ini, kalau kalian mau jadi lebih kuat kalian harus bisa mengatur fisik dan waktu tidur kalian, jika tidak ...." Alwendi mengangkat jari telunjuknya.

Mereka bingung, apa yang dimaksud oleh Masternya itu?

"Jika tidak, kenapa Master?" tanya Larman. 

"Jika tidak, kalian akan menyesali waktu-waktu yang telah terbuang." Alwendi mengarahkan telunjuknya ke arah Larman & Arwan. Tatapannya datar namun tegas.

Kedua muridnya itu menelan ludah, mereka mungkin menyesal dengan perbuatannya tapi mereka juga punya alasan sendiri walau tidak diutarakan dihadapan Masternya itu.

"Ya sudah, hari ini adalah latihan dasar kalian. Apa yang akan kuajarkan hari ini, akan jadi penentu kemampuan kalian selanjutnya." ujar Alwendi sambil menyilangkan lengannya.

***

Di tempat lain, Marton sedang berjalan-jalan di lorong istana yang luas. Ya itu istana tempat Suhndi berada. Hermin tidak sengaja berpapasan dengannya, mencoba menyapa.

"Hei Marton, bagaimana keadaanmu?" 

"Cukup baik Min, walau luka-lukanya masih terasa nyeri, haha." jawab Marton sembari berjabat tangan.

"Kau dipanggil oleh tuan Suhndi kan? Kira-kira apa yang akan dibicarakan olehnya ya?"

"Entahlah, tapi mungkin ini ada kaitannya dengan dua sahabatnya itu," 

"Semoga lancar pertemuanmu Marton, bisa jadi kan kau diangkat jadi jenderal sepertiku, hahaha." Hermin tertawa lebar sembari berjalan meninggalkannya.

"Haha, boleh juga tuh." jawab Marton sambil mengedipkan sebelah matanya.

Pintu ruangan dibuka oleh pelayan, Marton mulai melangkahkan kakinya masuk. Hampir semua yang ada di ruangan itu menoleh padanya, "Anda memanggil saya tuan?" ujar Marton seraya membungkukkan badan.

"Ya Marton, aku ingin bicara hal penting padamu. Kalian semua tinggalkan aku dan Marton,"

Mereka adalah para pelayan dan penasihat Suhndi, dengan tenang dan patuh menuruti perintahnya dan berjalan keluar ruangan.

"Ada apa sampai tuan ingin bicara empat mata dengan saya?" bicara Marton formal sekali, ia memang sangat menyanjung tuannya itu.

"Lumayan penting, tapi ini lebih baik kita bicarakan dengan santai Marton." Marton berjalan dan duduk di sofa empuk ruangannya, "mari silakan duduk,"

Marton menurutinya, mereka minum teh yang ada dan saling bercengkrama ringan sebelum sampai pada topik bahasan yang akan dituju. 

"Jadiii, ada apa ini tuan?" sela Marton di tengah jeda percakapan mereka.

Suhndi meletakkan gelas yang sedari tadi ada di tangannya, wajahnya tampak sedikit serius dengan apa yang akan diucapkannya kali ini. 

"Aku ada tugas penting untukmu Marton,"

"Apa itu tuan? Apa itu tentang dua sahabatmu itu?"

"Bukan, bukan itu. Ini mengenai kekuasaan BandarSia yang sekarang sudah di tanganku." ucap Suhndi seraya menggenggam kedua tangannya.

"Ada apa dengan itu tuan?" 

"Seperti yang kau ketahui, jalan ketika aku merebut kekuasaan dari penguasa terdahulu dipenuhi perjuangan yang sulit dan pertumpahan darah, Aku rasa kerajaan ini masih memiliki banyak musuh di luar sana,"

"Bagaimana kau tahu tuan? Bukankah beberapa tahun belakangan ini negara dan kerajaan bawahan kita aman-aman saja?" tanya Marton.

"Itu dia masalahnya, keadaan damai dan tenang bukan penentu keadilan saat ini," jawab Suhndi.

Percakapan serius ini semakin menegangkan.