Mereka mulai masuk ke tempat yang bernama Arias itu, cukup ramai orang-orang lalu lalang. Banyak bangunan-bangunan tinggi memukau dengan segala kemewahannya, mobil yang mereka bawa juga telah sampai pada sebuah bangunan yang cukup besar. Mirip seperti balai kota di sana.
"Baik, di sini perhentian kita tuan." ujar sang supir sambil membuka pintu mobil.

Mereka mulai mengeluarkan barang-barang dari bagasi mobilnya. Beberapa mata melihat ke arah mereka, utamanya ke arah Larman dan Arwan, mungkin mereka merasa asing dengan wajah-wajah baru itu. 

Larman mencoba menyapu pandang pada keramaian di sekitarnya, banyak sekali orang-orang yang sepertinya hidup dengan memanfaatkan otot dan tenaga mereka, ada yang dapat memikul tiga balok kayu hanya dengan bahu kanannya saja. Ada pula yang menghancurkan batu yang keras dengan menggunakan tinjunya.

Di tengah kekaguman itu bahu Larman ditepuk oleh Arwan, "Hei Man, ayo kita masuk." ucapnya yang segera berjalan sambil mengangkat tas-tas dengan kedua tangannya.

Larman beranjak sedikit malas, mungkin ia kelelahan dalam perjalanan. Namun sahabatnya itu tetap semangat seperti nyala api yang membara, tidak menunjukkan tanda-tanda seperti sedang lelah.

Supir Nek Surti masih mengawal Larman dan Arwan masuk ke dalam ruang tamu yang luas. "Tuan, mohon tunggu di sini ya, saya akan memanggil orangnya." ucap sang supir dengan sopan dan segera berlalu. 

Larman dan Arwan segera duduk, semua perabotan di ruangan dan bangunan itu terlihat mewah dan mahal. Apa semua orang di BandarSia memang kaya-kaya, begitu pikir mereka. 

"Huhh ... Gimana ya rupa orang itu? Apa ia ramah nantinya?" Arwan membuka percakapan.

Larman menoleh, sebelum akhirnya menyandarkan kepalanya di kursi empuk itu. "Ya ... kita lihat saja nanti Wan, yang penting kita harus serius dengan latihannya. Nenek berharap banyak dari kita,"

Tidak lama kemudian, pak supir datang dengan seseorang orang di sampingnya, tubuhnya tegap tinggi, raut wajanya serius dan berwibawa. 

"Mereka ya?"

"Ya iyalah, siapa lagi Ndi," jawab sang supir itu dengan mimik wajah yang sedikit lucu.

"Oke, kau bisa tinggalkan kami pak supir." ucap pria itu sembari mempersilakan supir untuk pergi.

"Namaku Rodu, huh ... dasar kau ini." jawab Pak supir tadi seraya beranjak pergi. Sebelum itu, dia menghampiri kedua orang anak yang akan menjalani latihan berat itu.

"Baiklah tuan Arwan dan Larman, tugas saya di sini sudah selesai. Kami harap kalian dapat menjadi sinar harapan baru bagi dunia ini ya, kami selalu mendoakan keselamatan kalian," ujar Rodu dengan ramah.

"Terima Kasih Pak, semoga Nenek dan semua orang di istana itu selalu sehat ya. Kami akan coba untuk terus mengabari," jawab Larman.

"Ngomong-ngomong, kayaknya Pak supir kenal ya dengan orang itu?" tanya Arwan sambil menunjuk Alwendi yang agak jauh dari pandangan mereka.

"Hehe, itu masa lalu tuan, baiklah sampai jumpa lagi ya." ucap Rodu sembari berjalan menuju mobil.

Larman dan Arwan melepas kepergian Rodu dengan senyum menghangatkan, seperti akan ditinggal oleh kedua orang tuanya untuk menetap di asrama saja pemandangan mereka.

"Ekhem ...!" 

Suara yang agak keras terdengar dari arah belakang tubuh mereka, segera keduanya menoleh dan menghampiri orang yang akan melatih mereka itu.

"Perkenalkan diri kalian," ucap Alwendi tegas. 

"Perkenalkan Pak, nama saya--"

"Panggil aku Master di sini, aku lebih senior dari kalian," sela Alwendi pada Arwan.

"B ... baik Master, nama saya Arwan." ujar Arwan seraya memperbaiki sikap berdirinya.

"Orang ini, punya kharisma yang luar biasa," gumam Larman.

Larman merasa kagum akan sikap tenang dan wibawa dari pelatihnya itu, sampai-sampai ia lupa memperkenalkan diri.

"Hei, kau!! Kenapa diam saja?"

"Eh? Oh ... maaf Master, perkenalkan saya Larman." ucap Larman yang ikut memperbaiki sikap berdirinya seperti Arwan.

"Baiklah, kalau boleh kutebak ... kalian ke sini karena ketidaksengajaan," Alwendi menatap lekat wajah mereka berdua. "Benar?"

"Iya Master," jawab keduanya yang saling memandang satu sama lain.

"Dunia ini keras, cukup keras bagi mereka yang tidak mengetahui apa-apa seperti kalian. Jika tidak mampu beradaptasi, mereka akan gugur," 

Larman dan Arwan menelan ludah, mereka cukup khawatir dengan apa yang dikatakan oleh Masternya itu.

"Kalian akan mulai latihan besok pagi, jangan sampai terlambat ya." ucap Alwendi sembari berjalan meninggalkan mereka, "kemarilah, kuperlihatkan kamar kalian,"

Setelah mengetahui kamar masing-masing, Alwendi memberi tahu tentang peraturan-peraturan yang harus ditaati ketika berada di rumahnya. Selain mendapatkan latihan, mereka juga ditugaskan membersihkan rumah Masternya sebagai bentuk latihan tambahan. 

"Kalau kalian mau, silakan berjalan-jalan ke sekitar kota Arias ini ya. Mungkin kalian butuh penyegaran," Alwendi menyarankan. "Aku ingin istirahat, jangan lupa kembali sebelum gelap."

Alwendi sudah berlalu pergi ke kamarnya, sekarang hanya tinggal Larman dan Arwan saling bertatap. Tidak tahu apa yang akan dilakukan selanjutnya.

"Hei Wan, yuk kita berkeliling sebentar. Kita mungkin bisa beradaptasi dengan dunia ini," ajak Larman pada Arwan yang baru saja duduk di sofa.

"Aku sedang malas Man, kau saja ya. Aku masih belum ingin ke mana-mana." Arwan meringkuk di atas sofa empuk itu.

Larman menatap sahabatnya itu dengan tatapan malas, ia segera menuju pintu depan. Dilihatnya daerah sekitar masih ramai melaksanakan aktivitas masing-masing. Larman mencoba berjalan-jalan, kepalanya menolek ke kanan-kiri seakan mencari-cari sesuatu yang mungkin dapat memukau dirinya.

Tidak lama kemudian, Larman melihat banyak orang berkumpul di suatu titik, ia mencoba mendekat. Ingin tahu apa yang sedang terjadi, Larman mencoba menyeruak tubuh orang-orang itu. Dapat ia rasakan otot-otot yang ada di tubuh mereka seakan menekan tubuhnya dengan aura yang kuat. Walau begitu, Larman bisa juga sampai pada barisan terdepan.

Ternyata sedang ada dua orang laki-laki dewasa sedang berhadap-hadapan, mereka seakan ingin bertarung dan menerjang lawan di hadapannya. "Ada apa ini?" tanya Larman pelan, namun ada beberapa orang yang menoleh ke arahnya karena mendengar suaranya.

"Kau tidak tahu Nak? Mereka sedang adu kekuatan," ucap salah seorang dari mereka. 

Larman tidak lagi bertanya, ia khawatir mereka akan mempertanyakan identitasnya yang masih baru di sini. Kedua pria itu sudah mengambil kuda-kuda. Yang satu tangan kanannya berada di depan, sedang lawannya seperti menggunakan kuda-kuda bertahan.

Riuh suara orang-orang yang menonton semakin terdengar keras, "LAWAN LAWAN LAWAN." sorak mereka pada kedua pria yang ada di tengah.

Pria pertama segera melesat, menyerang dengan tinju kanannya mencoba mengenai kepala lawannya. Walau Begitu, dapat segera ditangkis oleh pria satunya. Mereka saling melancarkan serangan dan dengan cekatan dapat saling terus menangkis. Aura dan energi berwarna tampak keluar dari bekas-bekas serangan dan tangkisan mereka. 

Larman hanya bisa tertegun, mereka hebat, cepat dan juga kuat. Mungkin kekuatan ini yang akan ia pelajari dengan Masternya nanti, begitu pikir Larman saat itu.

Salah seorang pria berhasil menyerang perut bagian kiri lawannya, "Ekhh ...!" Membuat sang lawan agak sempoyongan sambil memegangi perutnya.

"Hiaahh." sebuah tendangan dilancarkan ke arah pria yang memegangi perutnya itu, dan berhasil mengakhiri pertarungan.