"Kau sudah siap Yon?" tanya seorang pemuda dengan jas putih khas seperti dokter. Yoyon dan dokter itu kini sedang berada dalam ruangan layaknya pasien yang berkonsultasi dengan dokter pada umumnya.

"Iya, saya siap Dok," Yoyon menjawab agak ragu. Walau ia sudah menyetujui tawaran ini tapi tetap saja, ini pertama kalinya bagi dirinya diberkahi sesuatu.

"Apa kau masih gugup?" tanya sang dokter sambil meletakkan tabletnya, "Tidak perlu cemas ... mungkin kau belum tahu saja, di kota Arthaya ini kami tidak hanya mengembangkan teknologi militer dan fasilitas sosial tapi juga teknologi dalam bidang kesehatan,"

"Apa semua penyakit dapat disembuhkan Dok?"
"Iya, semua penyakit yang belum ada obatnya di duniamu dulu sudah ditemukan dan diciptakan di sini. Bahkan beberapa ada yang kami jual ke tempat lain di BandarSia untuk kepentingan perang dan yang lainnya," 

"Itu yang menjadikan kota ini sangat kaya Yon," seseorang baru saja datang dan ikut masuk ke obrolan. 

Saat Yoyon menoleh rupanya dia adalah Komandan Barlok, mungkin ia datang untuk melihat perkembangan Yoyon sebelum ditanamkan chip yang superior itu. 

"Bagaimana hasil pemeriksaannya Dok? Aman kan?" tanya Bardock sembari mengedipkan sebelah matanya. 

"Tenang saja Komandan, semua pemeriksaan yang dilakukan mendapatkan hasil yang cukup baik. Ini berkat fisik Yoyon yang pada dasarnya adalah atlet basket," jawab dokter itu.

"Wah, bagus kalau begitu. Tidak sia-sia kami memercayakanmu dalam proyek ini Yon, aku pribadi menantikan kejutan yang besar. Persiapkan dirimu ya." ucap Barlok sambil menepuk bahu Yoyon.

Tak lama kemudian Bardock pun pergi dan meninggalkan mereka berdua lagi. Dokter itu sedikit menghela napas, sebelum kembali melanjutkan pembicaraannya dengan Yoyon. 

"Dalam kurun waktu tiga hari kedepan, kita akan melakukan penanaman chip itu di sumsum tulang belakangmu Yon, jadi saranku kau harus berada dalam kondisi prima, makan yang banyak dan bergizi, olahraga dan istirahat yang cukup ya,"

Yoyon tidak langsung menjawab, ia sedang melamun sambil menundukkan kepalanya. "Apa ada yang mengganggu pikiranmu? Kalau ada, silakan ceritakan padaku ... aku siap mendengarkan," ujar sang dokter yang menatap Yoyon dengan sedikit cemas.

"Aku ... hanya rindu keluarga dan teman-temanku," suara Yoyon agak lirih, sekilas tersirat wajah kesedihan yang ia simpan sejak lama. 

"Ya, aku mengerti. Situasi ini memang rumit, kau juga pastinya belum terbiasa di lingkungan serba baru ini. Namun kalau kau berhasil melewati ini semua, kehidupanmu akan berubah dan kau akan semakin kuat kedepannya, anggap saja ini baru perkenalan bagi dirimu yang baru," 

Percakapan berakhir, Yoyon pamit dan segera meninggalkan ruangan itu. Di lorong ruangan terlihat beberapa orang yang sedang berdiri seakan menunggu dirinya. Mereka adalah para tentara yang menemukan Yoyon pertama kali. 

"Akhirnya kau keluar juga, mau ikut makan siang bersama?" tanya Evan.

Yoyon mengangguk pelan, melangkah ikut bersama mereka ke ruang makan. Sepanjang perjalanan Nina menyadari ada sedikit perubahan dari diri Yoyon yang biasanya ceria dan polos. Kini ia menjadi sedikit murung dan terlihat sedih. 

"Yak, mari kita pesan makanan sesuai favorit kita teman-teman," ujar Evan yang penuh semangat menggeser menu-menu dihadapannya yang berupa hologram tiga dimensi berwarna. Begitu canggih dengan hanya menyentuh menu yang dipilih maka makanan itu langsung tersedia, muncul dari bawah meja yang 
 sangat canggih, tidak perlu waktu lama menunggu dimasak oleh koki. 

Teknologi duplikasi yang sangat berkembang di Arthaya membuat mereka dapat membuat salinan untuk benda apapun kecuali makhluk hidup karena itu melanggar etika sains bagi mereka. Namun benda apapun dapat mereka duplikasi dengan mudah dalam waktu yang sangat singkat pula. Termasuk makanan yang enak, tidak lagi perlu dibuat menggunakan koki terbaik di dunia.

"Hei, kenapa kau ini? Dari tadi belum ada memilih satu makanan pun loh," Nina mencoba menyadarkan Yoyon yang masih melamun dengan jentikan jarinya.

"Ha? Ehh ... maaf semuanya." dengan cepat Yoyon menggeser menu-menu makanan yang diinginkannya, mie ayam. Itulah makanan kesukaan yang ia klik. 

***

Marton kini menuju tempat latihan Larman dan Arwan, setelah diberitahu oleh Tiarod ia segera berjalan ke sana untuk membalaskan dendamnya. Namun ia tidak bisa terburu-buru, salah langkah sedikit saja orang-orang di Arias akan segera mengerumuninya dan mungkin membuat perhitungan dengannya.

Kesempatan yang telah dibuat oleh Tiarod ini jangan sampai ia sia-siakan.

***

Tiarod dan Alwendi saat ini sedang bersantai di sebuah tempat minum seperti bar. 

"Ada apa kau memanggilku kesini Tiarod? Tidak biasanya," tanya Alwendi. 

"Tidak kok, aku hanya ingin bersantai dan mengobrol sedikit. Kau pasti masih ada waktu kan?"
"Yah, ada sih. Tapi ingat hari ini juga kita perlu memeriksa keadaan Larman dan Arwan. Kuharap mereka berhasil,"
"Jangan khawatir kawan, semuanya telah diatur." Tiarod mengangkat gelas bersiap bersulang.

***

Ombak air yang menenggelamkan Arwan itu kini mulai berputar bagai ada sesuatu yang mengaduknya dari dalam. "Ha? Tidak mungkin, air sebanyak itu ...." Matju terkesiap ketika ombak itu kini mulai dikembalikan padanya.

Matju tetap tenang, tak bergeming. Bagaimanapun juga ini tetaplah elemen dan daerahnya, ia hanya menunggu kejutan dari anak bernama Arwan itu. Tak berapa lama sebuah bayangan hitam nampak bergerak mendekatinya dengan cukup cepat dari arah depan. 

Dengan sigap Matju segera menyerangnya dengan cakar tajamnya, namun ia terkesiap karena bukan Arwan yang terkena cakarannya namun sebilah kayu yang cukup besar. Tak lama kemudian air itu kembali tenang dan mulai surut, Matju masih mencerna apa yang sedang terjadi. Selagi dewa air itu terdiam, Arwan dengan sigap menyerang kedua kakinya dan menjatuhkan Matju.

Matju tidak sempat bereaksi karena sergapan itu, namun kini Arwan menggunakan aura miliknya untuk menahan kaki Matju agar tidak dapat digunakan beberapa saat. "Cih, ap ... apa yang kau lakukan?" tanya Matju sembari berusaha menggerakkan kakinya yang sulit digerakkan.

"Bukan apa-apa kok, ini hanya cengkeraman dari sedikit aura yang kupunya. Sudah cukup untuk menahanmu di sini." setelah berbicara sebentar Arwan bergegas menuju Larman yang sedang menghadapi Tubas dengan dihujani batu-batu raksasa.

"Aku dan Larman tidak bisa memertahankan mode aura ini lebih lama lagi, apa aku harus mengambil dua kotak itu dulu atau menolong Larman lebih dulu?" langkah kaki Arwan kini terhenti sambil terus berpikir kemungkinan terburuk yang harus ia ambil.

Larman yang masih sibuk bertarung dengan Tubas melirik ke arah Arwan yang masih berdiam diri, sangat tercermin dari guratan wajahnya tekanan bathin yang ia pendam. Dengan percaya diri Larman segera berteriak memberi aba-aba ke Arwan.

"Ambil dua kotak itu Wan, aku bisa menghadapi dewa ini sendirian. Kalau sudah selesai nanti aku akan menyusulmu di garis akhir ujian!"

Kata-kata dari Larman membuyarkan lamunannya, dengan mantap kakinya diarahkan pada Telaf di ujung sana, sedang duduk bermeditasi dengan berbagai akar yang terhubung ke tubuhnya seperti sedang mengisi energi dari alam. 

"Akhirnya kau datang juga Nak, mari kuuji sekali lagi tekadmu,"