![]() |
Gambar : @yuki77mi (Telegram Channel) |
Kecewa, adalah salah satu sifat alami yang ada pada manusia. Tidak dapat kita pungkiri bahwa hati yang kecil ini adalah tempat menampung segala hal yang berkaitan dengan emosi dan perasaan diri. Sedih, marah, senang, bingung, dan lainnya.
Tapi mungkin yang paling
menyakitkan dari banyaknya permasalahan hati yang menimpa manusia adalah pada
saat kita kecewa. Iya, seakan diri ini dihujam dengan seribu belati panas yang
menancap di seluruh tubuh. Membuat semua harapan rontok dan jatuh bersama derai
air mata yang tak tertahankan.
Masih kuingat, bagaimana kekasih
hatiku membawaku berjalan-jalan di taman kota. Kami bermain dengan riangnya
saat itu, umur kami masih dua belas tahun. Mungkin di antara kami saat itu
masih dibilang cinta monyet, tapi aku tak peduli. Kekagumanku pada lelaki yang
menemaniku ketika kecil takkan pernah goyah.
Sejak SD kami selalu bersama,
duduk bersama, makan bersama, dan banyak lagi aktivitas yang kami lakukan. Hal
itu membuat teman-teman sekelas kerap menjodohkan kami dan mengatakan bahwa
kami cocok. Meskipun wajahku cerembut ketika diperlakukan begitu oleh mereka,
namun jauh dalam lubuk hatiku aku selalu berdoa agar dapat selalu berada di
sisinya kelak.
“Mawar ini indah sekali Arini,
seindah dirimu saat tersenyum.” ucapnya sembari menyentuh kumpulan mawar di
taman. Aku tersipu malu mendengarnya, entah itu gombalan atau apapun itu aku
tetap senang jika ia yang mengatakannya.
Hari-hari selalu kami lalui
bersama, bertukar kabar dan saling membantu saat kami kesulitan. Ia menjadi tempatku
menyandarkan kepala ketika aku sedang menangisi nilai ujianku yang rendah, terkadang
ia yang datang padaku ketika ia bingung bagaimana harus memilih buku yang cocok
untuk bahan bacaannya. Ia memang suka membacanya, hal yang kusuka darinya.
Hingga tiba saatnya kami beranjak
dewasa, kekasih hatiku mendapat kesempatan untuk kuliah ke luar negeri, ia
sangat antusias ketika memberitahukan kabar baik itu.
“Arini, aku diterima kuliah di
Inggris,” ucapnya riang.
“Wah, selamat Marsel. Semoga
betah ya di sana, jangan lupa kabari aku terus.” kataku sambil menepuk bahunya.
Memang berat melepas kepergiannya
jauh dariku, tapi jika ia senang maka aku juga sepatutnya senang dengan
pilihannya. Segala persiapan telah ia lakukan sejak jauh hari, itu juga tidak
luput dari bantuanku karena kadang ia kurang rapi mengemasi barang-barangnya.
Hingga sampai di bandara, Marsel
menatap wajahku lekat-lekat sebelum pergi dan berkata sesuatu. Sesuatu yang
membuat impian dan harapku semakin tinggi padanya.
“Tunggu aku ya Arini, aku pasti
jadi orang sukses nanti hehe,”
Kata-kata itu yang terus menjadi
semangat hidupku selama ini, waktu yang kujalani dan apa yang kulakukan
semata-mata untuk memantaskan diri ini agar dapat bersanding dengannya yang
merupakan lulusan luar negeri. Beberapa teman kampusku biasa menjodoh-jodohkan,
bahkan ada lelaki yang datang bermaksud meminangku, tapi semua itu tidak
menyurutkan tekadku menunggunya. Namun, sejak setahun terakhir ini ia menjadi
jarang menghubungiku, entah karena kesibukan atau apapun itu, aku tetap saja
khawatir. Apa mungkin terjadi sesuatu padanya?
Tepat satu bulan sebelum
kepulangannya dari akhir masa kuliahnya, ia menghubungiku lagi. Rasa lega
menghampiriku dan kutanyakan alasannya tidak menghubungi selama ini, ia hanya
menjawab sedang sibuk dengan urusan lain.
Ah sudahlah, yang penting sebentar lagi ia akan kembali dan berada di sisiku
lagi.
***
Marsel mengajakku bertemu di
sebuah caffe, ada hal penting katanya
yang perlu ia sampaikan. Aku sampai lebih dulu, lima menit lebih awal. Memang
kebiasaanku begini sejak dulu, karena tidak ingin membuatnya menunggu. Tidak
lama Marsel datang, ia tidak berubah tetap ramah dan santun seperti dulu.
Kami saling bercanda ria beberapa
saat, menanyakan kabar masing-masing walau sudah berulang kali chatting-an, menanyakan soal studi, dan
hal-hal tentang kehidupan lainnya. Hingga kami sampai pada topik pembicaraan
yang lebih serius, Marsel yang memulai.
“Rin, sebenarnya … ada yang mau
kusampaikan di sini,”
“Apa itu Sel? Bilang aja, kayak
sama orang lain aja kamu,” ucapku tak sabar.
“Aku akan menikah Rin,” Marsel
menjawab ringan. “Aku ketemu calon istriku saat kuliah di Inggris, kamu datang
ya,”
Aku tak bisa menjawab, dunia
seakan runtuh beserta harapan yang telah kubangun bertahun-tahun. Semua tiada
artinya, dipatahkan hati ini dengan sebuah kata-kata yang tidak sampai satu
menit diucapkan. Sungguh aku kecewa.
Aku tak dapat menahan air mata,
tanpa menjawab aku segera lari dari tempat dudukku menuju mobil yang
kuparkirkan. Tepat setelah aku baru keluar dari pintu caffe, Marsel memanggilku. “Arini ….”
Aku tidak bisa menoleh padanya
lagi, hati ini terlanjur hancur oleh kenyataan dan keputusan yang ia ambil.
Setelah beberapa lama, Marsel kembali berucap walau kutahu tak ada artinya lagi
bagiku karena ia kini akan bersanding dengan wanita pujaannya. Marsel kembali
melanjutkan perkataan dan maksudnya memanggilku tadi.
“Rin, minumanmu belum dibayar,”
Huh, aku kecewa!
4 Komentar
Keren Gan Teddy, memang hati itu mudah kecewa kalau terlalu mudah berharap.
BalasHapusWkwkwk Akhir ceritanya lucu juga ya. Semangat terus Gan👏😎
Alhamdulillah
HapusTerima Kasih Kak
Hm.,... Kamu pantas dilabeli raja tega, Marsel. He he .... Ceritanya bagus, cucunda Teddy.
BalasHapusAlhamdulillah
HapusTerima Kasih Nek