Gambar : ©® Namatnieks (Telegram Channel)

Aku diam, merenungi nasib. Kakiku meringkuk bagaikan udang, dibalik jeruji besi yang membelengguku. Dingin, sendirian, tidak nyaman dan tidak betah berada di sini. Terkadang sipir berjalan-jalan melihat kedalam ruanganku dengan tatapan sinis dan dingin. Entah apa yang ada di pikiranku saat itu sampai membawaku pada suatu tempat mengerikan dan paling kubenci ini. 

Semua berawal dari hari-hari biasa, hari yang normal layaknya anak-anak seusiaku kala itu, aku masih kelas satu SMP. Ya, aku baru saja lulus dari kelas enam SD dan baru masuk sekolah menengah di kotaku. Di sini aku mendapat beberapa teman baru walau teman-temanku di sekolah sebelumnya juga masih biasa bertemu, sekitar 30% teman SD yang kukenal masuk ke sekolah yang sama denganku dan sisanya berpencar, ada yang masuk sekolah favorit, sekolah biasa sepertiku, ada juga yang pindah dan sekolah di luar kota, dan banyak lagi.

Kegiatan yang paling menghawatirkan dari orang tua kami sejak dulu tidak lain dan tidak bukan adalah ketika anak-anaknya sepulang sekolah tidak langsung ke rumah melainkan singgah dan bermain di rental playstation. Sebenarnya ibuku tidak melarang jika aku ingin bermain di sana, namun seperti biasanya syarat dan ketentuan berlaku. Sebelum bermain aku terlebih dahulu harus pulang mandi, berganti pakaian, makan siang dan tentunya mengerjakan pekerjaan rumah jika memang ada. 

Hal itu tidaklah menggangguku, karena itu berarti ibuku sangat sayang pada anak semata wayangnya ini, tapi yang membuatku risih adalah ketika tidak lagi mendapatkan tempat terbaik saat pergi ke rental itu. Total ada sepuluh unit televisi beserta perangkat console Playstation 2 berjajar di dua sudut ruangan berbentuk persegi panjang itu, tentunya dengan segala prosedur yang harus kulakukan dapat ditebak bahwa akulah yang paling akhir mencapai tempat itu. 

Gemuruh dan riuh sudah biasa terjadi di tempat rental jika beberapa pelanggan sedang memainkan game yang populer atau sedang tren saat itu, untungnya tempat itu cukup luas untuk menampung suara kami. Selain anak sekolahan sepertiku, mahasiswa juga terkadang ikut meramaikan rental playstation ini. Bicara game populer, sudah bisa ditebak kalau game itu adalah game bola, dari anak kecil hingga orang dewasa yang memiliki playstation di rumah suka dengan permainan yang satu ini, bahkan di beberapa rental juga diadakan turnamen untuk itu. 

Karena playstation di rental terbatas maka antrian pelanggan atau orang-orang yang duduk di belakang pemain bagaikan antri sembako itu juga menjadi hal yang lumrah terjadi. Mereka menunggu habisnya waktu pemain yang pertama agar segera dapat memainkan game kesukaannya. Hal unik lainnya dari rental adalah tentang mengganti CD permainan, kita para pelanggan boleh memilih tapi tidak diperkenankan untuk melakukan penggantian CD itu sendiri pada playstation. Mungkin sang penjaga rental tidak ingin perangkatnya rusak, karena tidak dapat dipungkiri banyak orang yang datang bermain dan kita tidak tahu apakah mereka melakukannya dengan benar atau tidak.

Game yang biasa dan sering kumainkan di rental adalah God Of War, Grand Theft Auto San Andreas, Assassin's Creed dan tentunya Bully. Memainkan game-game itu membuatku bersemangat dan lupa waktu, kadang saat bermain tiba-tiba saja layar televisi mati. Menandakan waktu bermainku sudah habis, apa yang kulakukan? Tentunya kalau tidak pulang ke rumah, aku kembali menjadi penonton pelanggan lain di rental. 

Aku termasuk orang yang suka meniru, meniru senior, meniru guru, orang tua dan tentunya meniru game yang biasa kumainkan. Menurutku itu sangat keren dan berani, tidak jarang aku bermain di rental dengan wajah dan gerak mata yang serius seperti sedang melaksanakan ujian nasional, mataku tidak berkedip saat bermain.

Hal ini jugalah yang menjadi sebab aku berada di jeruji besi sekarang. Ceritanya dimulai saat aku baru saja menyelesaikan ulangan tengah semester di sekolahku, hari itu cuaca sedang panas-panasnya dan tentu saja aku harus pulang ke rumah untuk berganti pakaian dan makan siang. Tapi hari ini berbeda, aku tidak diizinkan untuk pergi bermain ke rental kesayanganku itu.

"Kenapa Anto nggak boleh main Ma?"
"Ini kan masih suasana ulangan, daripada main ps lebih baik belajar biar nilaimu bagus,"
"Tapi Ma--"
"Sudah, nggak usah banyak ngomong. Belajar di kamarmu!"

Aku sangat kesal, ini tidak adil. Kenapa hanya aku yang tidak boleh bermain sedangkan teman-teman sebayaku diperbolehkan ke rental oleh ibunya? Walau begitu aku tidak hilang akal, jendela kamarku cukup muat untuk tubuhku yang terbilang kecil sehingga dengan sedikit usaha aku bisa keluar dan segera menuju rental.

Sengaja aku tidak menaiki sepeda agar ibuku tidak langsung curiga bahwa anaknya sudah pergi. Semua uang di celenganku diambil hanya untuk bermain di rental, aku ingin bermain tiga jam penuh hari ini untuk melepaskan penat dan rasa kesal yang ada dalam pikiranku. Tapi entah mengapa ketika aku sampai di rental itu suasana sedang hiruk pikuk karena ramainya pengunjung.

Aku berpikir tidak akan mendapatkan tempat terbaik jika begini situasinya, kalau terlalu lama menunggu juga aku khawatir Ibu akan langsung mencariku, dan tentu saja rental ini akan menjadi tempat pertama ia mencariku. Setelah masuk dan sedikit berdesak-desakan, akhirnya aku menemui antrian yang lumayan sedikit, tidak sepanjang televisi lain. 

Alasannya mudah, game yang dimainkan oleh orang itu tidak menarik minat banyak pengunjung walau hanya untuk sekadar menonton. Akhirnya aku duduk di belakang orang terakhir yang mengantri sama denganku, ini memang sistemnya. Walau tidak lurus antriannya tapi giliran pemain dilihat dari siapa yang paling belakang untuk mendapatkan giliran.

Sambil menunggu, aku melihat-lihat ke seberang sana dan sini. Sorakan dan bisikan riuh terdengar karena mereka sedang menyoraki dua orang yang bermain game bola. Terkadang penjaga rental harus beberapa kali berdiri dan menepuk tangannya hanya untuk meredam kebisingan itu. 

Di saat menunggu begini bukan tidak melelahkan, peluh keringat dan bau asam beberapa orang menjadi sangat menggangu bagiku. Beda denganku yang benar-benar diurus oleh orang tuaku, mereka terkadang dibiarkan saja pergi tanpa makan bahkan hanya untuk mandi pun tidak mereka lakukan. 

Rasa geram semakin melanda ketika melihat orang yang sedang bermain di televisi tempatku mengantri masih sangat lama dan belum juga menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Aku hanya bisa sabar menunggu, seketika aku berdiri karena melihat ada yang bermain game GTA dari dua televisi sebelahku. Saat itu aku sudah tidak peduli antrianku karena untuk menghilangkan rasa bosan lebih baik aku menonton sebentar.

Tidak terasa saat aku sedang asik-asiknya menonton ketika menoleh ke tempat di mana tadi aku duduk, antrianku malah bertambah panjang jadi dua orang. Mau marah juga tidak bisa, ini memang salahku yang meninggalkan antrianku. Akhirnya aku kembali menunggu, rata-rata mereka bermain sekitar 45 menit sampai satu jam.  

Setelah ditunggu-tunggu akhirnya hampir giliranku tiba pula, hanya tinggal menunggu satu orang lagi di depanku dan aku sudah bisa bermain untuk tiga jam penuh, aku merasakan hawa-hawa kemenangan akan menyambutku sebentar lagi, dari televisi di depanku sudah menunjukkan waktu tersisa lima menit lagi.

"Bang, nambah." ujar orang di depanku sembari mengangkat tangannya.

Aku terdiam, terpaku. Tidak percaya pada apa yang baru saja ku dengar, ia menambah di saat aku hampir saja bisa meraih controller PlayStation itu? Benar-benar serakah orang ini.

"Berapa jam Dek?" penjaga rental bertanya.
"Dua jam lagi ya Bang, nanggung soalnya hehe,"
"Oke Bos." Penjaga rental mengambil remote tv dan menambahkan waktunya.

"Hei, aku kan sudah nunggu lama ... gantian dong." aku memegang pundaknya mencoba menghentikan keasikannya bermain.

"Apaan sih? Terserah aku dong." ia mencoba melepaskan tanganku yang sedari tadi memegan pundaknya.

Akhirnya aku tidak bisa bermain, aku berdebat dengannya mengenai keputusannya menambah waktu. Tapi ia tetap ngotot untuk tetap melanjutkan bermain karena itu haknya. Darahku semakin memanas, tidak bisa lagi aku sabar menghadapi semua tekanan ini.

Segera kuambil playstation yang ada di depannya dan kuhantamkan ke kepala orang itu, ia jatuh tersungkur setelah menerima seranganku, mengaduh. Namun aku tidak peduli lagi, segera aku mengambil controller itu dan kembali memukulkannya ke kepalanya yang sedari tadi dipegangnya. Apa yang kurasakan ini seperti saat bermain game-game favoritku, bunuh-bunuhan. 

Tidak lama, semua pengunjung berlarian keluar. Ketakutan melihat diriku yang seperti kerasukan setan, beberapa dari mereka mencoba menghentikanku dan terkena seranganku juga. Hingga aku merasakan sebuah pukulan yang cukup keras di kepala bagian belakang dan pingsan seketika.

Seperti itulah cerita mengapa aku bisa sampai di jeruji besi ini. Ibu dan ayah tidak berhenti menangis dan shock begitu tahu anaknya membuat orang lain terluka hanya gara-gara game di rental. Aku memang bodoh dan berpikir pendek, masa kurunganku menjadi dua bulan karena anak yang kupukul mengalami pendarahan di otaknya, kalau tidak dilerai mungkin ia bisa lebih parah saat aku memukulnya.

Dari kejadian ini, aku paham. Kehidupan ini bukanlah permainan tempat kita melakukan sesuatu sesuka hati kita, karena kita tidak bisa memulai dari awal semudah bermain game.