Gambar : Freepik


Hai, namaku Mewo. Aku memiliki majikan yang baik sekali, dia juga yang memberiku nama ini, entah siapa nama majikanku itu hehe. Aku diadopsi olehnya sejak usiaku tiga bulan, saat itu kulihat ia sepertinya sedang mencari-cari kucing untuk diadopsi di panti asuhan ini, ya aku menyebutnya begitu, karena memang kami diasuh kan? Walau suatu saat nanti ada saja yang datang untuk mengadopsi. 

 

Hari itu, adalah keberuntunganku, ketika kulihat manusia itu aku segera berlari dan mengeong padanya, “Ambil aku, aku ingin pindah dari sini.” kataku sambil mengangkat kedua kaki depanku. Entah dia mengerti atau tidak bahasa kami, tapi yang jelas dia mengangkatku. Wajahnya tersenyum, sejak saat itu aku bertekad untuk menganggapnya sebagai majikanku.

 

Aku dibawa masuk ke sebuah tempat, entah apa itu tapi saat aku ada didalamnya seakan tempat itu bergerak, kulihat majikanku itu memegang sesuatu berbentuk bundar, ia amat fokus menatap kedepan, aku sendiri tidak tahu apa yang dilakukannya, mungkinkah dia yang menggerakkan tempat ini? “Kita mau kemana Tuanku? Lihat sini dong,” aku bertanya, tapi ia tetap fokus. Sesekali melirik kecil dengan senyuman hangatnya.

 

Hari-hari yang kami lalui semuanya indah, ia baik sekali padaku. Aku disiapkannya tempat tidur, tempat buang air dan tempat makan khusus, aku sangat menyayanginya. Aku diajak berjalan-jalan di sekitaran komplek, disana juga banyak kucing sepertiku, tapi badan mereka kumal. Mungkin mereka kucing liar ya? Setiap harinya harus mengais makanan dari jalanan atau tempat sampah, syukurlah aku diadopsi.

 

Tapi ada satu hal aneh yang kulihat dari majikanku itu, disaat aku melihat kucing-kucing yang lebih tua umurnya dariku dan manusia lain sedang sibuk bermesraan di sudut rumah atau gang kecil, aku terpikir apakah majikanku tidak memiliki pasangan? Ia selalu sendirian setiap pulang dari sesuatu yang dia sebut kantor itu, apa ya namanya? Kalau tidak salah, kerja.

 

Tapi beberapa hari ini aku melihat dia sangat kelelahan, entah apa yang terjadi tapi aku sudah mulai kurang diperhatikan, kemarin saat dia menggendongku dan membawaku jalan-jalan dia bilang akan lembur beberapa hari, aku tidak paham apa maksudnya tapi semoga bukan hal yang buruk bagi kami.

 

Hari-hari berlalu, aku merasa kesepian. Ia tidak lagi sempat kusapa dan kusambut selayaknya majikan. Karena aku sudah tidur ketika dia pulang, dan ketika aku bangun pagi, dia sudah tidak ada. Walau majikanku itu meninggalkan makanan yang cukup untuk seharian aku makan, tapi tetap saja suntuk dan bosan kalau di rumah terus.

 

Suatu hari saat aku berjalan-berjalan ke dekat meja tempatnya biasa melakukan aktivitas yang disebutnya sebagai kerja, aku menemukan sebuah bungkusan plastik berwarna emas dan beberapa bongkahan kecil sesuatu yang berwarna cokelat. Setelah kujilati ternyata benda itu terasa manis, akhirnya aku memakannya sampai habis tidak tersisa.

Tapi entah kenapa setelah beberapa saat memakan itu badan dan kepalaku terasa pusing, aku memutuskan untuk tidur karena sudah dekat maghrib saat itu. Tapi semakin ditahan rupanya semakin parah sakit ini, aku berniat mengeong dan memberitahu majikanku tentang sakit ini tapi dia selalu sibuk, aku mencoba banyak minum air, tapi tidak banyak membantu meredakan sakitnya.

 

Lebih baik aku berada di dekat mejanya, agar ia bisa langsung melihat keadaanku ketika pulang nanti.

 

***

 

Dimana ini? Kenapa aku melihat diriku sendiri sedang terbaring disana?

“Kemarilah kucing manis,” tiba-tiba terdengar suara lembut entah darimana.

“Siapa itu? Kenapa … apa yang terjadi pada tubuhku?” tanyaku pelan.

“Kau sudah tiada kucing manis, sekarang rohmu sudah kukeluarkan dari tubuhmu, tidakkah kau ingat?”

 

Aku tidak bisa berkata-kata, yang kuingat terakhir kali adalah aku tertidur dengan menahan sakit di perutku, kini artinya aku telah mati. Apa yang akan terjadi pada majikanku nanti? Ahh mungkin dia sudah tidak peduli padaku, dia kan sibuk terus. “Mari, kuantar kau ke surga.” ajak suara misterius itu.

 

“Tunggu, aku ingin melihat apa respon majikanku kelak. Maukah kau menunggu?”

“Kalau itu maumu, baiklah … aku akan menunggu,”

 

Ternyata itu semua tidaklah benar, ia amat sayang padaku. Kulihat ekspresinya ketika melihat jasadku yang telah kaku, bagaikan hidupnya tak berarti lagi tanpaku di sisinya, ia pun membawaku ke dokter hewan walau tahu aku sudah lama mati. Air mata kami sama-sama menetes ketika aku melihatnya menggali kuburan di pekarangannya.

 

“Maaf, jika selama ini aku merepotkanmu dan berprasangka buruk padamu majikanku. Sekarang aku sudah bisa tenang di alam sana, jaga dirimu ya. Selamat tinggal,”