Gambar : @Weilard (Telegram Channel)

“Tinggal lima copy lagi ya!!” ucap seorang lelaki paruh baya itu, ketika sedang menyusun dan memilah-milah buku-buku bajakan di tempat percetakannya.

 

Suasana saat itu sedang sibuk-sibuknya, buku baru dari seorang penulis nasional baru saja rilis. Semua pembajak berlomba-lomba mencetak lembar demi lembar kertas berisi ide dan keringat sang penulis itu. Pabrik ini cukup terpencil, bahkan jika dilihat dari luar seakan pabrik kosong. Sang pemilik memang pandai dalam berkamuflase, agar petugas keamanan atau polisi tidak mudah menemukannya, oh bahkan mungkin mereka tidak terlalu peduli akan hal ini, karena hal seperti pembajakan buku saat ini sudah sangat lumrah.

 

Polisi yang memeriksa juga terkadang hanya diam setelah disodorkan beberapa lembar kertas uang oleh sang bos pembajak itu, seakan hanya pemeriksaan biasa, tidak ada langkah khusus untuk menanganinya. Jika bukan dari diri konsumen itu sendiri. Bos pembajak itu kini sedang menunjuk-nunjuk karyawannya yang sedang mengangkuti beberapa lusin buku ke dalam pick up kecil.

 

“Jangan lupa nanti laporannya ya.” sembari meninggalkan tempatnya, ia menghitung-hitung uang hasil jualan buku bajakan sebulan lalu, “Dua puluh juta hahaha … lumayan, rezeki bapak sholeh.”

 

 

***

 

 

Mobil pick up itu sedang berjalan menuju toko-toko buku langganan yang biasa jadi tempat persinggahan buku-buku bajakan itu, “Kira-kira, laku berapa ya Ron?” tanya Ramus pada temannya itu yang sedang fokus menyetir.

 

“Nggak tau sih, tapi kalau aku prediksi kayaknya lebih dari 100 copy nih lakunya hehe.” jawabnya santai tanpa beban. “Tapi … kasihan juga ya sama si penulisnya, udah capek-capek nulis malah kita bajak gini,”

 

“Halah, hitung-hitung amal Ron, kan bagus kalau kita jual tulisannya dengan harga ‘merakyat’ gini, banyak yang beli ketimbang harga di mall atau toko buku bagus bisa dua kali lipat harganya. Ini kan juga bisa jadi promosi lebih jauh buat yang nulis,”

 

Mereka sudah sampai di toko buku yang dimaksud, dengan sigap kedua pemuda itu menurunkan lusinan buku yang sudah tersusun rapi dalam pick upnya. Ramus segera menghampiri pemilik toko yang sudah berdiri menunggu buku pesanannya itu.

 

“Lima lusin kan ya Pak?” Ramus menyiapkan nota, temannya Roni sedang mengangkat lusinan buku itu ke dalam toko.

 

“Iya, terima kasih Dek. Udah banyak yang nungguin ini buku di toko saya.” jawab pemilik toko sembari menanda tangani nota yang tadi baru saja diberikan padanya.

 

“Oke Pak, semoga toko bukunya semakin lancar dan laris manis ya.” Ramus meninggalkan toko buku itu dengan hati gembira, masih enam toko lagi yang perlu mereka singgahi untuk mengantarkan buku-buku itu agar bisa dikonsumsi oleh para pembaca yang tentunya memang lebih memilih membaca dari pembajak dengan kualitas yang sangat rendah dibandingkan dengan buku dari pencetak yang punya lisensi resminya.

 

Pekerjaan di percetakan itu bukan tanpa resiko bagi Ramus dan temannya itu, setiap hari mereka harus mencetak pagi-pagi sekali agar buku yang dihasilkan lebih banyak dan tenaga yang dimiliki oleh para pekerja masih segar, masalahnya tinta dan bau hasil cetak itu cukup mengganggu pernapasan, sering kali beberapa dari karyawan perlu menggunakan masker hingga dua lapis agar debu tidak terhirup.

 

Cover buku bajakan juga dibuat seadanya dengan kertas bekas terkadang, asal jadi dan ada warnanya. Toh pembeli juga kadang tidak mempersoalkan hal ini yang penting isinya dapat dibaca sebagaimana mestinya. Kadang lembaran isinya juga terlalu gelap, bau kertasnya juga menyengat, harus tahan memang berlama-lama kencan dengan buku haram ini. Jika ada pembeli datang ke toko buku bajakan, dipilahnya dulu dan dilihat mana yang isi dan covernya tidak terlalu mengganggu pandangan agar nanti tidak malu ia pajang di ruang tamu rumahnya.

 

Harga, ini memang mengerikan dan merusak pasar. Jika penerbit mayor atau indie biasanya menjual buku novel misalnya dengan kisaran Rp 50.000 ke atas, maka lain lagi dengan buku bajakan ini, biasa dijual sekitar Rp 10.000-an, harga yang menggiurkan bukan? Yah, bagi konsumen tentunya. Tapi tidak bagi penulis yang harusnya menerima hasil yang pantas dari jerih payah yang ia buat. Jika ditanya kenapa begitu murah, tentu saja jawabannya karena percetakan bajakan tidak perlu banyak keluar uang untuk membayar desainer, editor, ongkos produksi yang semestinya bahkan mereka tidak bayar pajak untuk mencetak semua buku-buku itu, yang menjadi modal utama mereka tentunya hanya nyali dan alasan klasik ‘kami butuh makan’ untuk membenarkan semua perilaku bejatnya.

 

Kita kembali melihat keadaan bapak pemilik toko yang baru saja menerima lima lusin buku bajakan pesanannya itu, setelah menyuruh karyawannya membuka lalu menaruh buku-buku itu pada rak yang tersedia ia pun kembali ke tempatnya di meja kasir, sedang membaca koran hari ini.

 

Memang benar adanya, tidak lama berselang tiga orang pembeli segera masuk ke toko itu, mereka celingak-celinguk seperti mencari sebuah buku. “Nyari buku ini kan?” sang pemilik toko berseru sambil tangan kanannya memegang buku yang dimaksud.

 

“Wah, iya Pak. Sudah ada kan?”

“Sudah dong, masih baru. Silakan dipilih-pilih,”

“Asyik, beli lima ya Pak, ada teman yang nitip,”

 

Transaksi berjalan lancar, aman dan tanpa kendala. Setelah ketiga sekawan itu berlalu pergi, pemilik toko itu dengan wajah sumringah kembali pada rutinitasnya membaca koran setelah baru saja menghitung uang yang masuk ke meja kasirnya.

 

Beberapa saat suasana begitu damai, para karyawan toko seperti biasa menjaga toko sambil membaca komik atau novel favorit mereka, tentunya bajakan juga. Selang beberapa saat, seorang pemuda hadir, ia masuk toko buku itu dengan tenang. Sang pemilik toko meliriknya, “Nyari buku apa Bang?” ucapnya sembari meletakkan korannya.

 

“Ada buku Garis Cinta Pak?” pemuda itu berjalan mendekati meja kasir.

“Oh, kebetulan sekali. Ini bukunya baru saja sampai Bang, mau beli ber—”

“Kalau Bapak tidak bayar gaji karyawan selama satu bulan, kira-kira reaksi mereka gimana ya Pak?” sela pemuda tadi.

 

Suasana hening sesaat, pemilik toko bingung juga merasa aneh. Kenapa orang ini menanyakan hal-hal seperti itu? “Maksudnya Abang … apa ya? Saya nggak paham ni ….”

 

“Iya Pak, kalau mereka itu, anak-anak muda karyawan Bapak yang kerja disini Bapak nggak keluarkan upahnya sebulan. Apa Bapak tega?” ujar pemuda itu sembari menunjuk salah seorang karyawan yang tengah membelakanginya, asik membaca buku yang ada di tangannya.

 

“Y … ya ya jelas mereka bakalan marah dong Bang, saya juga nggak mungkin melakukan itu. Mereka sudah saya anggap anak sendiri juga.” jawab pemilik toko sambil menggaruk kepalanya masih mencoba mencerna pertanyaan dan maksud dari pemuda ini.

 

“Tapi, sepertinya tidak begitu deh,”

“Ha? Maksudnya Bang? Gimana bisa?”

“Iya, buktinya, semua buku bajakan ini, Bapak yang jual kan? Apa Bapak tidak merasa kasihan dengan penulisnya?” matanya menyorot tajam, nadanya tegas.

Suasana kembali hening, sang pemilik toko hanya bisa terdiam. Ia sebenarnya sadar kesalahannya selama ini, tapi jika tanpa buku bajakan bisnisnya akan seret.

 

“Anda siapa sebenarnya? Polisi ya?” pemilik toko mulai pucat, habislah dia kalau sampai ketahuan. Bisnisnya akan hancur, nasib keluarga beserta karyawannya juga terancam.

 

“Saya bukan polisi atau petugas yang berwenang untuk menggusur toko Bapak,”

“Lalu??”

“Saya penulis buku yang baru saja Bapak beli dan pasarkan,”

 

Betapa terkejutnya pemilik toko, sang penulis kini sedang berada di hadapannya, menatap bercengkrama dan sedari tadi memerhatikan. Apa yang bisa ia lakukan, hanya tergagap, tidak mampu mengeluarkan sepatah kata pun.

 

“Kami para penulis, menuangkan ide melalui tulisan dengan harapan bisa bermanfaat untuk orang banyak. Tapi juga dengan cara yang baik, tapi orang-orang seperti anda menghancurkan mimpi kami semudah membeli kacang goreng,”

 

“Maaf Bang,”

 

Hanya kata itu yang terlontar, karyawan lain saling berpandangan, bingung ada apa dengan bosnya. Pemilik toko memberi isyarat untuk kembali bekerja, mereka pun meninggalkan meja kasir dan kembali ke rak-rak buku.

 

“Saya hanya mengingatkan, seperti perumpamaan tadi, tentunya Bapak tidak tega kan kalau gaji karyawan tidak dibayar, mereka mau makan apa? Beberapa dari kami juga bisa makan dari hasil royalti buku yang ditulis, dengan adanya pembajakan, kesempatan kami semakin terkikis … semoga Bapak bisa sadar, saya permisi.” pemuda itu dengan mantap keluar dari toko buku, meninggalkan pemiliknya yang masih pucat dan merasa bersalah.

 

Sang pemilik toko kemudian membakar semua buku-buku bajakan itu, ia sadar telah menyakiti hati orang-orang yang menuliskan lembaran-lembaran karya terbaik mereka. karyawannya juga diberikan pengertian dan wejangan, kini toko buku itu tidak lagi menjual buku-buku bajakan, sekarang ia sudah menjalin kerja sama dengan para penerbit dan tentunya toko buku itu menjadi lebih baik dan bersih.