![]() |
Gambar : klkka22 (Grub Telegram) |
Bojur namanya, seorang pemulung cilik yang biasa mengitari komplek rumahku setiap sore. Ia selalu mengenakan pakaian putih yang sudah compang camping sambil membawa karung goni yang lebih besar dari tubuh kecilnya.
Terkadang aku awasi dia untuk melihat apa-apa saja yang biasa dikumpulkannya dalam karung itu. Aku cukup prihatin dengan kondisinya, pernah kulihat ia makan dari sisa-sisa makanan yang dibuang oleh beberapa rumah. Aku biasa memanggilnya untuk memberinya barang-barang yang tidak lagi terpakai, seperti pakaian dan barang-barang elektronik yang sudah tua namun masih bisa digunakan.
Mendapatkan itu saja ia sudah tersenyum bahagia, orang tua Bojur sudah meninggal dua tahun lalu. Sang ayah meninggal karena kelelahan bekerja, ayah Bojur adalah seorang kuli panggul di sebuah pasar pinggiran kota. Setiap hari ia selalu pergi subuh sekitar jam empat, lalu kembali pulang paling cepat pukul sembilan malam. Di sana ia hanya makan sedikit, berbekal uang lima ribu rupiah, ia hanya bisa memesan nasi saja.
Ibu pemilik warung yang biasa melihat ayah Bojur yang hanya memesan nasi setiap hari kadang tidak tega melihatnya. Ketika pemilik warung itu sedang ada rezeki lebih, diberikannya lauk tempe, tahu dan sayur bayam untuk asupan siang ayah Bojur. Sampai suatu ketika pekerjaannya sangat berat hari itu, ia dan rekan-rekannya dijanjikan uang yang cukup besar jika mereka bisa mengangkat banyak karung. Tentunya ayah Bojur sangat semangat untuk itu, ia maju terdepan untuk mengerjakan pekerjaannya.
Lumayan, uang yang didapat sekitar dua ratus ribu lebih. Walau begitu, rasa lelah yang teramat sangat memenuhi tubuhnya. Ia pulang dengan wajah lesu karena tidak makan sedari pagi agar bisa bekerja maksimal, hanya istirahat shalat saja yang ia lakukan selain bekerja siang itu. Karena kecapekan sang ayah tercinta menghembuskan napas terakhirnya di rumah reotnya ditemani istri dan anaknya Bojur.
Lain lagi dengan cerita sang ibu yang meninggal sebulan kemudian, ibu Bojur terus bersedih atas kematian suami tercinta yang merupakan tulang punggung keluarganya. Sang ibu beberapa hari setelah kematian suaminya hanya diam termenung, makan pun hanya sesuap itupun karena disuapi Bojur. Tidak lama kemudian, sakit melanda sang ibu. Saat itu uang tabungan mereka sudah habis untuk makan, Bojur kesana kemari meminta tolong ke orang-orang dan tetangga terdekat. Tapi mereka hanya memandang sinis dan mengunci pintu rapat-rapat, enggan menolong. Bahkan ada satu rumah yang hampir menyiramkan air panas pada Bojur agar anak malang itu segera pergi.
Dalam sedih dan putus asanya Bojur kembali ke rumah, sang ibu sudah diam terpaku, napasnya sudah tidak lagi berhembus, badannya sudah mulai dingin. Tangis Bojur memenuhi isi rumah kecilnya.
Ketika Bojur bercerita tentang masa lalunya itu, tidak terasa kedua air mata kami mengalir. Jika saja aku ada di sana, mungkin sang ibu masih bisa tertolong. Tapi tidak ada gunanya berandai-andai, takdir sudah dipegang oleh yang maha kuasa, kita hanya perlu mengambil pelajaran dan terus menjalani hidup seperti biasa.
"Berapa dapat kemarin Jur?" tanyaku sambil membawa kardus berisi barang-barang bekas.
"Alhamdulillah Bang, dua puluh ribuan kemarin," jawabnya dengan senyuman kecil.
"Alhamdulillah ya Jur, eh ... ini abang ada barang-barang, tapi udah nggak abang pakai lagi, abang mau kasih ke kamu Jur. Masih bagus kok ini barangnya." ucapku sembari menyodorkan kardus yang sedari tadi kupegang.
"Wah, Alhamdulillah. Terima kasih Bang." jawab Bojur ketika melihat barang-barang yang kubawa.
Semua barang itu adalah pakaianku yang sudah mengecil, ada juga jam dinding, kamera kecil yang sudah agak kuno, botol air minum dan beberapa buku pelajaran. Aku harap Bojur bisa menggunakan itu untuk terus berkembang, karena ia tidak pernah disekolahkan sejak kecil.
"Jur, maaf nih ya abang nanya begini. Kamu nggak ikutan anak seusiamu? Yang ... biasa minta-minta di jalanan dan lampu merah itu," tanyaku.
"Nggaklah Bang, Bojur malu kalau disuruh minta-minta. Lebih baik begini, Bojur nyari barang untuk Bojur jual. Lumayan Bang, insya Allah halal hehe," jawabnya dengan senyuman hangat.
"Memang minta-minta nggak halal Jur?" tanyaku penasaran dengan apa yang ada di pikiran Bojur.
"Yaa ... nggak begitu juga sih Bang, kalau nggak salah, Bojur pernah dengar kata Ustadz saat kajian di masjid. Kalau kita sebagai seorang muslim yang masih punya fisik yang kuat dan sehat itu tidak baik jadi peminta-minta Bang," jawab Bojur dengan wajah yang ceria.
"Oh ... begitu ya Jur? Terus terus?" tanyaku, mendorong Bojur menjawab lebih lanjut.
"Bojur kan masih kuat, sehat, Alhamdulillah tidak berkekurangan. Jadi untuk apa Bojur ikut-ikutan mereka? Bojur juga lebih yakin kalau mulung begini lebih baik dan berkah daripada minta-minta begitu Bang," jawab Bojur senang.
Begitulah sosok Bojur, ia tidak pernah mengeluh dengan segala hal yang dialami selama ini. Semua dijadikannya pelajaran dan alasan untuk tetap hidup dalam kebaikan. Ia pantang meminta-minta belas kasihan dari mereka yang lebih mampu, ia juga rajin beribadah dan biasa kulihat ia memasukkan uang ke kotal infaq.
Sebulan kemudian, setelah aku berunding dengan kedua orang tuaku akhirnya mereka setuju untuk membiayai sekolah Bojur hingga ke perguruan tinggi, Bojur juga sekarang sudah menjadi adik angkatku. Aku sangat sayang padanya, ia tidak pernah nakal dan selalu mematuhi aturan, ia juga sering mengingatkanku dan kedua orang tua angkatnya untuk shalat dan hal lainnya. Mungkin ini jawaban dari doa-doa yang ia panjatkan selama ini.
32 Komentar
Wahh ceritanya inspiratif,, kisah nyata yah bang??
BalasHapusAlhamdulillah Bukan Gan, Hanya imajinasi + Harapan 😁👍
Hapuswalau ceritanya lumayan klise tapi dibawakan dengan enak sehingga saya pribadi bisa mengikutinya dengan baik.
BalasHapusTerima Kasih Bang
Hapusgaya penceritaanya bagus, membuat nyaman membacanya..
BalasHapusnice post!
Terima Kasih Kak
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusAku masih eran sma org2 yg jago buat cerpen/ novel gitu, dpt ide dri mna ya bisa mengarang begitu panjang tetap tersusun rapi dia?�� ����
BalasHapusAlhamdulillah Kak, karunia dari Allah
Hapussetiap orang punya kelebihan dan kekurangan masing-masing, jadi ya kadang kita yang ga bisa ngelakuin hal orang lain bisa pasti kita terheran-heran. Semangat terus pokoknya, tekuni apa yang kamu bisa, kelak akan membuahkan hasil dikemudian hari.
HapusWah keren banget sih, salut. Bisa dengan enjoy dan asik dalam menceritakan sebuah novel. Tulisannya juga nyaman banget untuk dibaca sehingga mudah dipahami.
BalasHapusTerima Kasih Gan, tapi ini CerPen Gan
HapusBukan Novel 😁
Keren mas ceritanya dan penulisannya bagus jadi enak untuk dibaca sehingga tidak bosan untuk membaca ceritanya
BalasHapusAlhamdulillah
HapusTerima Kasih Gan
Semoga bermanfaat
Yang penting hallal berapapun nominalnya daripada menjadi tikus bagi masyarakat kecil
BalasHapusNah, benar sekali itu Gan
HapusJangan jadi Tikus berdasi
Waw, keren cerpennya kak. Bisa jadi inspirasi buat orang lain dalam menebar kebaikan.
BalasHapusTerima Kasih Kak
Hapusini kisah nyatakah kakak, aku baca enak kayaknya baca kisah novel gitu. ngalir gitu aja jadi enak bacanya. pas akhir paragrafnya baru ngeh lah ini kisah nyata ternyata. gitu ya kak?
BalasHapusAlhamdulillah bukan kisah nyata kok Kak. Ini juga bukan Novel Kak
HapusHanya Cerpen sederhana
ceritanya menarik, salam kenal kk..
BalasHapusSalam kena juga Kak
HapusCerita yang menarik dan inspiratif
BalasHapusTerima Kasih Bang
Hapusseru nih ceritanya kak...
BalasHapusAlhamdulillah, Terima Kasih ya Kak
Hapuskeren .. lanjutkan 👍
BalasHapusInsya Allag Gan
HapusHehe
Keren ceritanya, walau singkat tapi aku rasa prolognya sudah lebih cukup. Kembangkan lagi 😁
BalasHapusInsya Allah ada yang lain Bang
HapusKok bisa tertata rapi gitu jalan ceritanya, keren sih ini mah hehe
BalasHapusAlhamdulillah Bang, Semoga bisa menghibur
Hapus