Gambar : The_Short_Stack (Grub Telegram)

Birus adalah seorang anak yang suka sekali pamer, ia selalu membanggakan dirinya dihadapan teman-temannya yang lain jika ia mampu mengungguli mereka walau hanya sedikit. Seperti saat dulu Birus bersama anak-anak yang lain sedang bermain kelereng, tembakannya mengenai beberapa kelereng lawannya hingga tiga kali berturut-turut.
"Nih, liat ... siapa yang bisa lebih jago dari aku?" ucapnya dengan pongah.

Anak-anak lain hanya bisa menggeleng dan lanjut bermain, walau begitu Birus masih saja mengoceh tentang kemenangannya. Hal ini bukan sekali dua kali terjadi, setiap ia menang atau mengungguli teman-teman sebayanya dalam satu hal, maka ia langsung mendeklarasikan dirinya menjadi paling hebat.

Seperti saat ia berhasil menjadi muadzin saat umurnya masih tiga belas tahun, setelah kejadian itu, ia terus mendengungkan pada teman-temannya bahwa ia adalah anak yang pertama kali diantara mereka yang berani azan. Terkadang teman-temannya hanya mengangguk agar ia berhenti, namun itu tidak berarti apa-apa untuk mendiamkan sikap congkaknya itu.

"Ndri, kamu kapan azan? Liat nih aku, udah bisa azan ... diantara kita baru aku yang berani," celetuk Birus saat berkumpul bersama teman-temannya di lapangan bola.

"Lah, sombong sekali kamu Rus. Baru aja bisa azan, kami bukannya nggak mau, masih belajar untuk pengucapan lafadz yang benar, walau kamu udah duluan tapi azanmu juga masih belepotan," jawab salah satu dari temannya mencoba menyadarkan Birus.

"Yaa bukannya begitu, aku kan paling hebat diantara kalian. Jadi ya wajar aja kan kalau aku ngomong begini?" ujarnya seakan tidak menggubris nasihat tadi.

Walau sudah sering bersama, teman-teman Birus kadang capai dan resah dengan semua sifat sombongnya. Jika Birus melakukan kesalahan, ia tetap saja berkilah dan mencoba mencari alasan agar semua kesalahan itu tidak ditujukan pada dirinya. 

"Rus, kok kamu kemarin nggak ngawasin sandal jama'ah pas jum'atan? Kalau ada yang hilang gimana?" tanya Andri dengan nada kesal pada Birus.

"Iya nih, kan itu jadwalnya kamu Rus. Nggak amanah banget kamu!" timpal Rizal.

Namun Birus dengan santai dan tidak bersalah, ia malah menyalahkan Ridho temannya. 

"Ridho tu, kemarin nggak ada ngingatin. Mana aku tau kemarin jadwal piket, lagian aku ini nggak masalah kalau nggak jaga sandal, kerja kayak gini lebih cocoknya untuk kalian." jawabnya dengan acuh sambil meninggalkan teman-temannya.

Sifat sombong dan pamernya itu mungkin karena turunan dari orang tuanya, yang memang dikenal sebagai orang yang suka sekali memamerkan harta benda yang baru saja mereka miliki kepada tetangga disekitar rumah. Biasanya Ibu Birus yang datang berkunjung ke rumah tetangga bermaksud berbincang-bincang kecil, hingga pada suatu titik ia membicarakan perabotan atau perhiasan yang baru dibelinya.

Suatu saat teman-teman Birus menyusun rencana untuk mempermalukan dirinya, agar sadar dari sikap angkuh yang dimilikinya. Hari itu mereka sepakat untuk menjadikan Birus sebagai pembaca ayat suci dalam acara kajian di masjid.

Teman-temannya tahu bahwa Birus sebenarnya masih tidak lancar mengaji, tapi ia adalah orang yang akan maju jika sudah disanjung dan dipuji. 

"Gini ya, biar si Birus itu sadar dan nggak sombong lagi ... kita suruh dia baca Qur'an nanti pas kajian Ustadz Mirza, gimana?" tanya salah seorang dari teman-teman Birus.

"Eh, nggak apa? Kasihan nanti acaranya rusak gara-gara kesalahan Birus, dia kan baru Iqro' tiga," jawab Rizal agak ragu.

"Nggak kok Zal, ini kan hanya acara kecil. Yang datang juga nggak terlalu banyak, pastinya nggak akan merusak nama baik masjid. Kan ada kita yang ngawasin," tandas Andri mencoba meyakinkan.

Setelah mereka sepakat dengan rencananya, ternyata Birus yang mereka cari sedang berjalan menuju kerumunan teman-temannya itu. Birus selain sombong dan suka pamer, ia juga seorang yang suka ingin tahu urusan dan pembicaraan orang lain, jadi saat ini saat yang tepat bagi teman-teman Birus untuk melancarkan aksinya.

"Eh, lagi ngomongin apa? Ngomongin aku ya? Wajar aja sih, aku kan memang hebat, tapi kalian jangan iri ya," ucapnya yang menyapu pandangan teman-temannya.

"Alhamdulillah Birus, baru aja mau kita cari ... udah sampai aja kamu disini hehe." ujar Andri sambil menepuk-nepuk bahu Birus.

"Eh Rus, kan besok ada kajian ni di masjid. Gimana kalau kamu yang jadi pembaca Qur'annya? Kami sudah izin kok ke Bang Amar," ucap salah seorang diantara mereka.

"Wah, pas banget. Ilmu ngajiku juga memang lebih baik daripada kalian, ya keputusan bagus kalau yang dipilih itu aku kan? Haha," jawab Birus sambil tertawa kecil.

Teman-temannya tetap tersenyum dihadapan Birus walau dalam hatinya mereka menantikan saat-saat Birus akan dipermalukan oleh dirinya sendiri.

***

Esoknya hari yang dinanti pun tiba, beberapa remaja masjid turun tangan untuk menyiapkan acara yang diadakan. Tidak lupa Birus dan teman-temannya ikut ambil bagian dalam menyiapkan acara, dilihat dari manapun Birus tidak banyak membantu, ia hanya sesekali mengangkat barang itupun kalau disuruh saja.

Hingga tiba saat acara akan dimulai, Birus dengan bangganya menuju posisi di sebelah sang Ustadz. Namun ia terdiam beberapa saat ketika buku yang ada dihadapannya bukanlah Iqro' yang biasa ia baca saat belajar mengaji.

"Mampus kau Birus haha ...." gumam teman-temannya yang memerhatikan Birus sejak tadi menunggu moment ini.

Birus masih saja terpaku, ia hanya membolak-balik lembaran-lembaran Qur'an itu dengan tatapan kosong.

"Kenapa Birus?" tanya Ustadz di sebelahnya yang agak bingung dengan tingkahnya.

"Oh ... eee ... nggak kok Ustadz," jawabnya spontan sambil mengambil ancang-ancang untuk segera membaca Qur'an. 

"A ... baa ... duh, ini gimana ya bacanya?" ucap Birus pelan.

Tidak lama kemudian para jama'ah mulai berpandangan satu sama lain, menunjukkan raut wajah keheranan. Beberapa ada yang tersenyum kecil, namun berbeda reaksinya dengan teman-teman Birus yang sedari tadi sudah berada di luar masjid hanya untuk tertawa terbahak-bahak melihat ketidakberdayaannya tadi.

Setelah kejadian itu harapan teman-teman Birus ia tidak lagi suka meninggikan dirinya diatas yang lain secara berlebihan dan mulai memperbaiki kekurangannya. Namun bukannya sadar, ia malah berkilah.

"Ya, wajar aja ... soalnya tadi aku kurang siap." jawabnya ketus sambil meninggalkan teman-temannya.

Rupanya semua rencana tadi tidak membuatnya sadar akan kesalahannya, tetapi sebagai temannya mereka tidak akan membiarkan sifat congkaknya itu menguasai dirinya.