Sumber : ichol98067313 (Telegram Channel Pixel Art)

Gerobak yang didorong Tino hampir sampai di depan gerbang perumahan elit. Ia telah berkeliling di beberapa tempat dan mendapatkan uang dari pelanggan yang membeli dagangannya. Ada yang membeli seikat kangkung, ada pula yang membeli segenggam cabai, dan lainnya.

Pagi memang membawa berkah tersendiri bagi tukang sayur seperti Tino. Walau kebanyakan pembelinya adalah ibu-ibu paruh baya, tak sedikit pula ibu muda yang baru beberapa bulan menikah mulai membeli dagangannya, dengan alasan ingin belajar memasak.

Kadang ia juga menjadi konsultan resep bagi para ibu muda tersebut, yang merasa gengsi bertanya kepada mertua mereka. Mengetahui kehadiran Tino sebagai tukang sayur tidaklah sulit.

Sambil mendorong gerobaknya perlahan, ia membunyikan lonceng di tangannya dengan ritme khas. Serentak, para ibu rumah tangga bersiap menyerbu pelan ke arahnya. Hal ini dilakukannya karena pernah ditegur oleh seorang ibu-ibu lantaran terlalu cepat pergi saat ibu tersebut sedang bersiap-siap mengambil uang.

Sebagai tukang sayur, gosip komplek dan perumahan tak luput dari pendengaran Tino. Saat awal berdagang, ia merasa tak tahan mendengar rentetan ghibah yang berlangsung sembari ibu-ibu itu memilah-milah sayur dagangannya.

Namun, seiring berjalannya waktu, kupingnya kebal dengan hal-hal semacam itu. Kadang ia pun turut campur dalam mencari informasi yang ia butuhkan. Meski demikian, Tino lebih sering diam, karena yang terpenting baginya adalah gerobak sayurnya menjadi sumber rezeki yang cukup.

Lonceng di tangan Tino masih belum dibunyikan ketika ia melangkah masuk ke komplek elit itu. Sayup-sayup suara burung berkicau seakan menyambutnya di pagi cerah. Hujan semalam membawa kehangatan dan kesejukan yang seimbang, membuat Tino semangat pagi ini. Ketika telah berada di tengah komplek, lonceng Tino mulai dibunyikan. Sekali saja, dan ibu-ibu mulai bermunculan.

Tino berhenti tepat di depan rumah besar bercat merah dengan lantai marmer mahal. Sekilas pandang, siapa pun tahu pemiliknya bukan orang sembarangan. Ini pertama kalinya Tino berhenti di sini, karena biasanya ia cukup menunggu di dekat gerbang untuk memanggil ibu-ibu berbelanja. Namun, hari ini berbeda; ia penasaran dengan rumah mewah itu.

Empat ibu-ibu sudah mulai mengerumuni gerobaknya. Mungkin Anda bertanya-tanya, mengapa ibu-ibu elit ini membeli sayur dari pedagang keliling? Bukankah uang mereka cukup untuk membeli di tempat yang lebih mahal? Jawabannya adalah Tino, sang pedagang, terbukti lebih baik dalam melayani dan menyediakan sayur segar dengan harga terjangkau. Belum lagi, mereka tak perlu jauh-jauh berkendara, karena Tino hadir di depan rumah mereka.

"Ini seikat berapa, Bang?" seorang ibu bertanya.

"Rp4.000, Bu," jawab Tino.

"Ada ikan tongkol juga, Bang?" kali ini ibu muda yang bertanya.

"Wah, habis, Bu," balas Tino.

Saat mereka asyik memilih-milih sayur, tiba-tiba seseorang menepuk bahu kiri Tino.

"Tino ya?" tanyanya.

"Cecep? Kamu... tinggal di sini?"

"Iya, Bro. Nih, kamu tepat berhenti di depan rumahku." Cecep menunjuk rumah megah di dekat gerobak Tino.

"Oh, alah. Ini rumahmu ya? Wuih, keren banget kamu. Udah kaya," Tino terperangah dengan senyum sumringah.

"Iya dong. Tau sendiri kan kerjaanku gimana?" jawab Cecep membanggakan diri. "Eh, kamu gimana kabarnya? Ini kerjaanmu sekarang, No?"

"Iya, Cep. Aku nyoba-nyoba dulu jadi pedagang sayur. Niatnya mau usaha lain sih."

"Waduh, kamu, No, No. Padahal dulu di sekolah itu kamu paling pintar, loh. Kok bisa sekarang jadi tukang sayur? Aku aja nih, sekolah sering bolos, ketiduran di kelas, malah jadi pejabat."

Sambil mendengarkan cerita dan nasihat Cecep, Tino tetap melayani ibu-ibu yang berbelanja. Hal itu tidak mengganggunya karena Cecep dulu cukup dekat dengannya. Tino ingat, saat masa sekolah, sering melihat Cecep berusaha melompati pagar sekolah hanya untuk bolos ke warnet. Kini, nasib Cecep jauh berbeda.

"Beberapa waktu lalu, kok aku nggak ngelihat kamu, Cep? Kan kamu tinggal di sini," tanya Tino.

"Iya nih. Istri ketigaku lagi nggak di rumah. ART juga lagi cuti, jadi aku deh yang masak. Untung aku jago masak, jadi bisa lebih hemat."

"Istrimu ada tiga, Cep?" tanya Tino heran.

"Ssstt, jangan keras-keras. Dia istri sirihku, atau secara nggak resmi, simpananku, No." Cecep mengecilkan suaranya. Walau ibu-ibu sudah banyak yang pergi, sepertinya mereka mendengar percakapan itu.

Percakapan mereka mengalir hangat, seperti teman lama yang bertemu kembali. Tino tetap melayani pelanggannya hingga para ibu rumah tangga selesai berbelanja. Kini, tinggal mereka berdua.

"No, kamu mau nggak kerja di tempatku? Biar aku rekomendasikan. Kita bisa kerja sama-sama."

"Waduh, gimana ya? Bukan bidangku kayaknya, Cep," jawab Tino.

"Halah, santai No. Emang kamu kira aku ngerti sepenuhnya kerjaanku? Ya nggak lah. Aku cukup bayar orang yang ngerti buat ngeyakinin pusat biar cair uangnya."

"Uang? Uang apaan, Cep? Gaji?"

"Bukan, uang anggaran, Tino. Kalau atasan ngasih, aku tinggal ambil 20%, sisanya kita bagi-bagi. Lumayan, loh, hehe."

"Wah, bukannya nggak baik itu, Cep? Korupsi kan itu namanya?"

"No, zaman sekarang kalau hidup terlalu jujur ya nggak makan. Ingat kata Pak Juhut? Kalau mau hidup bersih ya di surga aja."

Tino hanya mengangguk-angguk, tak bisa menerima tawaran Cecep. Ia membayangkan konsekuensi bila ketahuan oleh KPK. Apa mungkin negerinya sebobrok ini, diisi oleh orang seperti Cecep yang menyalahgunakan uang rakyat?

Entahlah. Ia hanyalah pedagang sayur yang sedang bertugas. Cecep membeli dua ikat kangkung dan bakso ikan. Dengan santai, Cecep membeberkan nama-nama yang ikut menikmati uang hasil korupsinya. Perut buncitnya mungkin bukan hanya karena kurang olahraga, tapi juga menimbun dosa.

"Oke, No. Kalau berubah pikiran, hubungi aku ya. Tau kan nomorku? Nggak usah khawatir, bekinganku polisi juga kok, hehe." Cecep masuk ke rumah mewahnya.

Tino tersenyum kecil sembari memegang dua lembar uang seratus ribu. Belanjaan Cecep hanya senilai Rp15.000, tapi ia memberikan lebih, katanya rezeki. Dengan wajah lesu, Tino memasukkan uang itu ke tas selempang miliknya.

Tino kembali mendorong gerobaknya. Matahari semakin meninggi, mungkin sudah jam sepuluh pagi. Ia harus segera keluar dan melaporkan hasil usahanya hari ini. Meski ada rasa senang dan miris melihat temannya berada di jalan yang ia rasa menyimpang.

Tino telah jauh meninggalkan komplek elit itu. Ia berhenti sejenak, memandang kembali ke arah komplek, dan mengambil sesuatu dari tas selempangnya.

Sebuah handy talky. Ia mendekatkan HT itu ke mulutnya dan berbicara. "Lapor. Keberadaan dan kediaman tersangka kasus korupsi 300 triliun telah ditemukan. Tersangka bernama Cecep Samudra, tinggal di komplek Carut Marut nomor 45."

Tino terdiam, menerima perintah dari pihak yang ia hubungi lewat HT itu, lalu beranjak pergi.