Keesokan harinya, saat aku baru saja pulang dari kuliah, sekitar pukul 16.00 sore, dari kejauhan tampak beberapa orang sedang berbincang - bincang dengan ibu di teras rumahku. 

Ada sekitar 5/6 orang . Betapa terkejutnya aku, ternyata mereka ingin aku  menjadi guru les bagi anak mereka. Lagi-Lagi bapak. Bapak yang mempromosikan aku kepada para tetangga. 

Bapak memang selalu membanggakanku sebagai seorang yang pandai dan sellau juara. Memang banar, aku dianugrahi otak yang lebih cerdas dan tangkas dibandingkan beberapa orang lainnya. Dan oleh karena kecerdasan itulah aku bisa kuliah. Mengandalkan beasiswa sejak saat itu, aku mendapatkan sebuah pekerjaan sebagai guru les dengan penghasilan yang lumayan.


Jika aku terlahir dengan kecerdasan, lain hal untun Rian, adikku. ia tidak sepandai diriku. Bahkan, aku harus menahan amarah setiap kali harus mengajarkan materi di sekolahnya, yang kebetulan ia memperoleh nilai rendah.

 Namun Rian bercita-cita ingin kuliah. Satu hal yang membuatku bingung, aku saja yang kuliah dengan mengaldakan beasiswa, masih sangat sulit untuk sekedar memenuhi biaya ongkos pulang pergi ke kampus. 

Bahkan tidak jarang aku harus menebalkan muka, saat meminta tumpangan pada seorang teman, dengan imbalan aku mengerjakan tugas mereka.

Akan tetapi, bapak itu lain cerita.Bapak bahkan sellau membakar semangat Rian untuk terus belajar, dan selalu memberikan harapan untuk kuliah.

 Masalah biaya, bapak hanya bilang, “asal kamu mau secukupnya, nanti pasti bisa"yang kadang membuatku terharu dengan semangat bapak yang sangat luar bisa itu.

Rian adalah seorang periang, selalu bersemangat tetapi memang secara intelektual masih kurang, bahkan saat ia masih sekolah dasar Rain pernah naik kelas dengan pertimbangan bahwa ia adalah anak yang rajin, dan tidak suka banyak ulah. Masalh nilai, ya nilai bisa mengikuti nantinya.

Hanya satu kelebihan dari Rian, Rian sangat gemar melukis hasilnya bagus-bagus. Bapak selalu memebrinya tugas setiap hari, harus ada satu lukisan yang diperlihatkan kepadak bapak ketika beliau pulang kerja. Itu berlangsung bertahun-tahun lamanya. 

Mulai Rian masih di bangku sekolah dasar, sampai menjelang SMA.
Pernah suatu hari, entah karena Rian bosan dengan tugas dari bapak atau kehabisan ide dalam melukis, ketika bapak pulang, Rian hanya menunjukan sebuah gambar persegi yang didalamnya diisi dengan beberapa coretan berwarna abu-abu. 

Menurutku, itu bukan karya lebih kepada sebuah keisengan. Tidak untuk bapak kami, aku ingat betul apayang bapak katakan pada Rian hari itu.

“Wah, lukisannya belum selesai, ya Rian? Sayang sekali, ya.” Bapak menatap dengan mata yang telah lelah karena seharian pulan bekerja seharian.