Hari ini tuntas sudah sebuah hutang yang pernah aku janjikan padanya. Sosok laki tua dengan raut wajah hampir penuh berdiri di hadapanku. Tubuhnya jauh dari kata tegap, meskipun dulu dalam ingatanku ia adalah seseorang laki laki yang sangat gagah. Jaman telah merenggut kegagahannya yang dulu tumbuh kekar dan kuat.

 Kini telah berubah tubunya telah ringkih, dadanya terlihat begitu tipis, dan genggaman tangannya tidak lagi mengandung kekuatan akan tetapi, dimataku, bapak tetaplah lelaki tangguh yang menciptakan keberaniaan. Beliau adalah panutan bagiku dan kedua adikku.

“Nak, terima kasih,” ucap nya padaku, saat tadi memeluk erat tubuhku dan menepuk pundakku.

Aku hanya diam dan tidak dapat berkata-kata. Hanya merasa iba dengannya, betapa besar cita- cita walaupun ia hanya seorang yang kurang mampu melihat adik bungsuku mengenakan pakaiaan wisuda membuatnya sangat bahagia.
Kami hanya sebagian kecil masyarakat yang hidupnya terhitung sulit bahkan sangat sulit. Kami tidak punya rumah yang layak seperti mereka yang punya tempat tidur yang nyaman.

 Rumah kami hanya beberapa meter tanah dan dinding anyaman bambu. Makanan kami juga seadanya meskipun seperti itu, kami tidak menyerah begitu saja meratapi nasib yang kami alami.
Bapak yang selalau memberi semangat, memberikan dorongan berupa motivasi dalam menjalani hidup, bapak selalu berusaha mencarikan kami lewat buku-buku, bahkan kesuksesan orang – orang yang dahulunya terlahir dari keluarga miskin. Justru dari kegigihan bapak dalam memberikan yang terbaik untuk anaknya .

Sulit rasanya ketika bapak memaksaku untuk berjuang myelesaikan pendidikanku dulu, saat semuanya terlihat tidak mungkin bahkan, sering kali bapak memarahiku ketika aku berkata,

“Pak, aku akan bekerja membantu bapak saja biarlah adik-adiku saja yang sekolah.”

“Kalau kamu saja bodoh, siapa yang akan menjadi penunjuk jalan buat adik-adikmu?Bapak? Bapak ini bodoh Gus”

Bapak akan selalu berkata begitu, saat aku menyampaikan keinginankupadanya. Suatu hari bapak berkata padaku

“Gus, kalau kamu mau membantu bapak, baiklah bapak izinkan akan tetapi, tidak sebagai pekerja serabutan seperti bapak ini”
“Lalu Bagus harus kerja apa, pak? Baguskan belum selesai kuliah. Mana ada perusahaan yang mau mempekerjakan orang seperti bagus,” jawabku pada bapak sambil menyenderkan badan ke tiang kayu yang mulai lapuk di beranda tempat tinggal kami.

“Kamu itu kan, pintar Gus. Di desa ini dan desa sebelah banyak anak-anak sekolah yang butuh guru les, kan kamu bisa menawarkan diri untuk jadi guru lesnya.

“Tetapi, Bagus masih tidak cukup yakin Pak,” jawabku pada bapak yang sedang memperbaiki sepatu sekolah adikku Rini.

"Lah, kamu ini bagaimana sih, Gus? Kalau kamu saja tidak percaya sama diri sendiri, terus bagaimana orang akan mempercayaimu?" bapak berdiri sambil menepuk pundakku.

"Gus, terkadang kita harus bermodal keyakinan pada diri sendiri, asal itu hal yang baik ingat itu? Bapak berlalu masuk ke dalam rumah.
Aku masih duduk bersandar di tiang kayu yang rapuh itu.