Gambar : Freepik


Hari ini aku sibuk sekali, kerjaan di kantor sedang banyak-banyaknya. Menguras pikiran dan tenagaku, bahkan beberapa hari lagi kami semua dijadwalkan lembur hingga jam sebelas malam, masalahnya kucingku di rumah, Mewo namanya. Ia pasti akan lama menunggu kehadiranku di rumah, hari ini aku pulang seperti biasa jam empat sore, segera kupacu mobilku agar bisa segera pulang dan melihat peliharaanku tersayang.

 

Pintu kubuka, seperti biasa Mewo langsung datang dan menggesekkan kepalanya pada kakiku, kubelai sambil kuangkat tubuh mungilnya, warna rambut tubuhnya seluruhnya berwarna putih kecuali di kedua sisi matanya yang berbentuk bulat, itulah yang membuatnya amat lucu, kuciumi dia sembari berjalan menuju dapur setelah menaruh sepatu dan tas kantor pada tempatnya.

 

“Mewo, udah makan? Mau makan nggak?” rayuku pada malaikat kecilku itu, Mewo terus memanja, menggeliat dalam gendonganku dan membuatku tertawa kecil. Itulah hiburanku setiap harinya dikala tugas-tugas kantor mendera, hanya dia temanku bahkan sahabatku. Kami biasa melakukan rutinitas berdua, layaknya sepasang kekasih, jalan-jalan meski hanya mengitari komplek. Menonton film favorit sepulang kerja juga kulakukan bersamanya.

 

Dulu Mewo kuadopsi dari penangkaran kucing di kotaku, ketika itu aku sedang memilih dan melihat-lihat kucing yang ada di kandang-kandang itu, mereka semua sangat lucu dan menggemaskan. Saat aku terlarut dalam pandanganku itu, seekor kucing tiba-tiba mengeong dibawah kakiku, sambil terus mengangkat kedua kaki kecilnya padaku seakan berharap untuk diangkat dan dimanja olehku.

 

Segera kugendong kucing yang saat ini kuberi nama Mewo itu. Suaranya sungguh menenangkan hatiku kala itu, wajahnya bulat kecil dan lucu semakin menambah keinginanku untuk segera mengadopsinya. Setelah selesai dengan segala administrasinya, segera kubawa pulang Mewo dengan mobilku, ia hanya memandangiku yang saat itu sedang fokus mengemudi di kursi samping.

 

Sesekali ia mengeong, mungkin menyuruhku membelainya. Tapi tentu tak bisa kulakukan karena jika aku tidak fokus menyetir nantinya akan membahayakan keselamatan kami. Setelah pengadopsian yang sebentar itu hari-hari menyenangkan selalu kulalui bersama Mewo, jika kalian bertanya tentang dimana orang tuaku, mereka berada di kampung. Setiap libur panjang dan hari raya aku selalu mengunjungi mereka. Tapi tolong jangan tanyakan padaku perihal pasangan hidup, sudah belasan kali aku putus nyambung pada banyak perempuan sejak aku dibangku perkuliahan hingga dunia kerja.

 

Dari perempuan biasa hingga anak pejabat pernah kupacari, tapi hampir kesemuanya tidak ada yang cocok, pernah paling lama saat itu aku berpacaran dengan teman kuliahku sampai lima bulan, ya hanya itu rekor pacaranku yang paling lama, yang lainnya jangan ditanya ya.

 

Sejak itulah, aku lebih memilih kucing sebagai teman hidup dan pelepas lara dari kesuntukan dan hiruk pikuk dunia ini. Bukan karena aku gay ya, tapi karena belum menemukan pasangan yang cocok saja untuk saat ini meski dalam urusan finansial aku sudah terbilang mapan, orang tuaku juga tidak terlalu mempermasalahkan.

 

Segera kurebahkan diri di kamar setelah memberi makan Mewo, hari kamis nanti aku benar-benar harus menyiapkan badan yang fit agar tidak sakit nantinya. Berarti makanan Mewo perlu kuberi lebih banyak agar ia tidak kelaparan, “Meooow.” Mewo mengeong dengan suara lirih sambil berjalan masuk dan segera melompat ke pembaringanku, kami saling menatap, bermain-main kecil sebelum akhirnya aku berbenah diri.

 

***

 

Hari ini pekerjaan semakin banyak, para pegawai berkebut mengerjakan kerjanya masing-masing, suara ketikan key board menderu layaknya peluru yang berdesing cepat. Lembur juga berarti ada uang lebih yang masuk ke kantong kami, tapi beban kerjanya juga wah. Beberapa temanku pernah jatuh sakit sampai dua minggu lantaran lembur hingga jam dua pagi.

 

Untungnya aku tidak begitu, daya tahan tubuhku terbilang bagus dan memang sedari dulu aku jarang sakit. Mewo sudah kutinggal lembur dua hari ini, terakhir kulihat dia hanya tiduran saja di dekat tempat makannya, aku tidak berniat memanggilnya karena mungkin ia sedang lelah. Aku memang kurang perhatian pada Mewo dalam dua hari ini, pikiran dan perhatian harus sepenuhnya kucurahkan demi perusahaan tempatku bekerja.

 

Hingga hari selesai lembur tiba, aku dan teman-teman kantor bisa pulang jam dua siang hari ini, betapa senangnya, aku berencana membelikan Mewo makanan kucing dan lonceng untuknya, beberapa hari lalu saat berselancar di sosial media aku melihat kucing-kucing yang dipasangi lonceng di lehernya tampak lucu apalagi kalau gendut akan mirip Doraemon.

 

Setelah membeli beberapa keperluan Mewo di toko kucing, aku segera pulang, tak sabar ingin melihat ekspresinya ketika bermain dan berlari kesana sini dengan lonceng yang kubelikan untuknya.

 

“Mewo.” ucapku saat membuka pintu sambil menenteng tas tangan berisi keperluan Mewo.

 

Tidak ada jawaban, tidak biasanya dia begini. Tidak langsung datang untuk bermanja di kakiku, tidak ingin lama berpikir segera aku menuju ruang dapur, Mewo juga tidak disana. Namun ketika aku mencari di sekitar meja kerjaku, dadaku terasa sesak. Jantungku terasa berhenti berdetak, tas yang kubawa terjatuh, karena tanganku mati rasa.

 

Mewo tergeletak di dekat meja kerjaku, terbujur kaku dengan mulut berbusa. Dia keracunan, tapi kenapa? Kenapa di saat seperti ini dia harus meninggalkanku. “Mewo, bangun … kamu kenapa?!”

 

Tanpa pikir panjang, segera kuhidupkan mobil menuju dokter hewan terdekat berharap ia masih bisa diselamatkan, walau aku tahu itu mustahil, badannya sudah dingin. Tapi aku tidak mau menerima kenyataan bahwa Mewo telah tiada.

 

“Dok, tolong Dokter! Kucing saya, kucing saya ….” aku merangsek masuk, beberapa mata melihatku terkejut.

“Tenang dulu Pak, mari kesini.” seorang dokter segera merangkulku cepat menuju ruangan pemeriksaan.

 

Melihat sang dokter memegang dan memeriksa keadaan Mewo membuatku semakin panik tak karuan, aku bergumam entah apa yang kuucapkan agar Mewo tidak mati. Setelah beberapa saat dokter memeriksa, akhirnya selesai juga. Ia menggeleng kecil, “Maaf Pak, kucing anda sudah mati,”

 

Bagaikan petir di siang bolong kata-kata dokter seperti ribuan pisau yang bersamaan dihujam ke dadaku, aku syok tidak dapat berkata-kata. “Ap … apa Dok? Mungkin saya salah dengar ya??”

 

“Tidak Pak, kucing bapak sejak sebelum dibawa ke sini sudah mati sekitar dua puluh menit lalu. Dia keracunan makanan,”

 

Sudah lama ternyata dia menderita sakit itu, tapi kenapa? Kenapa tidak sadar juga? Dasar tugas sialan, kalau bukan karena itu, aku mungkin tidak akan mengabaikan kucing kesayanganku, dokter itu sungguh baik, sebenarnya ia sudah tahu kalau Mewo sudah mati tapi ia tetap mencoba memeriksanya untuk menenangkan hatiku.

 

Aku membawa mayat Mewo kembali pulang ke rumah, pihak rumah sakit hewan itu menawarkan pemakamannya tapi aku ingin menguburkan sahabat karibku ini. Tanah segera kucangkul di sekitar pekarangan rumah, hingga lubang yang kugali terasa cukup dengan badan mungilnya. Air mataku tak terasa menetes jatuh, berat rasanya, semua kenangan dengan Mewo seakan diputar ulang dalam kepalaku, tubuhnya sudah kuletakkan dalam lubang itu berbalut kain perca yang biasanya dijadikan tempatnya tidur dan bermain ketika menungguku pulang.

 

“Maaf … maafkan aku Mewo, maafkan aku ….”