![]() |
Gambar : roboticgeo (Grub Telegram) |
Seorang mahasiswa baru saja masuk ke dalam masjid yang ada di dalam lingkungan kampusnya, sebut saja Fulan. Ia hadir berniat untuk melakukan ibadah-ibadah sunnah seperti shalat dhuha dan membaca Al-Qur'an. Karena hari itu dosen yang ia cari sedang tidak ada di tempat.
Kala itu suasana masjid tidak begitu sepi, di sebelah kiri luar terdapat beberapa adik tingkatnya sedang melakukan syuro' yang dihadiri oleh mereka yang biasa disebut BPH atau Badan Pengawas Harian. Yaitu musyawarah untuk organisasi keagamaan yang ada di kampusnya. Ketika ia menoleh, tak sengaja pula bertatapan dengan sang Ketua Umum dari jendela luar yang ia kenal ketika masih berada dalam kepengurusan dahulu.
Setelah meletakkan tasnya, Fulan segera keluar untuk mengambil air wudhu. Ia shalat empat rakaat dhuha, ketika sudah selesai segera Fulan beranjak ke sebuah rak kaca yang ada di dekatnya untuk mengambil Al-Qur'an. Suasana begitu khidmat, suara dan sejuknya AC masjid menambah rasa nyaman Fulan untuk semakin berlama-lama melantunkan ayat suci Al-Quran walau dengan suara kecil hampir berbisik.
Tidak lama setelah beberapa lembar berlalu, terdengar suara pintu dibuka dari seberang tempatnya duduk. Fulan tak menoleh, ia berpikir itu hanya seorang jamaah yang mungkin hanya numpang shalat beberapa rakaat lalu pergi. Fulan terus melanjutkan bacaannya walau ia sebenarnya agak heran siapa ikhwan yang masuk lewat pintu itu? Karena di dekat sana juga sedang ada Syuro' dan dekat dengan tempat duduk para akhwat.
Ketika bacaanya telah sampai pada awal surah Al-An'am, pemuda yang tadinya shalat sunnah di shaf terdepan tadi berjalan mendekat mengucap salam, "Assalamu'alaikum." ucapnya sembari duduk di depan sebelah kanan Fulan.
"Wa'alaikumussallam Warahmatullahi Wabarakatuh," ucap Fulan yang segera menutup Qur'an yang sedang dipegangnya.
Awalnya Fulan merasa ragu untuk meladeni orang itu, mengapa tidak? Tiba-tiba pemuda ini datang untuk mengajak ngobrol walau ia tahu Fulan sama sekali belum pernah mengenalnya. Perawakannya juga tidak seperti kebanyakan orang, wajahnya seperti China, walau kulitnya gelap, membawa sebuah tas selempang kecil dan mengenakan setelan baju kotak-kotak merah serta celana Jeans.
Dengan sedikit malu-malu ia mulai membuka pembicaraan, "Mau nanya dek, kira-kira biaya pemakaman muslim itu mahal tidak ya?"
Sontak hal ini membuat Fulan sedikit tersentak kaget, mengapa tiba-tiba pemuda ini bertanya demikian? Siapakah yang akan wafat? Walau begitu, Fulan tetap meladeni pemuda itu, walau disini Fulan menyebutnya pemuda tapi ia tidak semuda itu, mungkin usianya sudah 30 tahunan.
"Kalau untuk pemakaman muslim Pak, Bapak nanti bisa hubungi pihak masjid sekitar rumah Bapak. Nanti mereka yang akan mengurusi jenazahnya," jawab Fulan sebisanya.
"Soalnya ini untuk Ibu saya, ia sedang kritis," raut wajah Bapak itu mulai berubah.
"Saya mau bawa dia ke rumah sakit lewat BPJS tapi lagi konden. Karena uang iurannya nggak bisa bayar, lewat sebulan." Bapak tadi melanjutkan ceritanya.
Fulan hanya bisa mengangguk, sesekali menyahut sang Bapak yang mulai menceritakan keadaannya kala itu.
"Saya sebenarnya dua beradik, adik saya ada di malaysia. Kerja, tapi beberapa bulan ini nggak ada ngirim duit. Saya juga kerjanya hanya mulung, ke sini mampir hanya untuk shalat. Mohon pertolongan sama Allah," kata Bapak itu.
Bapak itu terus bercerita, setiap Fulan mendengar ceritanya, semakin ia kaget dengan apa yang ia dengar sekaligus kasihan.
"Ibu saya di rumah sudah lumpuh, sudah jengap-jengap napasnya. Saya nggak ada uang mau bawa ke rumah sakit, BPJS juga nggak bisa digunakan. Harus bayar dulu, Rp 40.000 kali tiga orang, berapa?" tanya Bapak itu pada Fulan.
"Rp 120.000 Pak," jawab Fulan.
Pertanyaan tadi bukan karena sang Bapak tidak pandai menghitung, hanya saja ia seperti ingin membuat Fulan merasakan apa yang saat ini sedang dirasakannya walau hanya sedikit.
"Saya mualaf," ujar sang Bapak.
"Saya sudah coba ke masjid dekat rumah, mohon bantuan. Tapi mereka nggak bisa bantunya. Padahal saya hanya minta Rp 120.000 bukan sejuta dua juta, biar bisa bayar BPJS untuk ibu saya di rumah. Mereka nggak mau peduli," ungkap sang Bapak, dengan nada sedikit tinggi.
"Mohon maaf Pak, Bapak biasa shalat di masjid?" tanya Fulan, mencoba mencari tahu.
"Saya setiap hari shalat di masjid, muka saya terpampang di masjid. Tapi ... mereka nggak ada yang peduli dengan keadaan saya," ucap sang Bapak dengan gestur tubuhnya.
"Karena saya masih ngontrak, jadi kayaknya dari mereka nggak bisa bantunya." ucapnya sambil memperlihatkan kartu keluarga, "Ini nama saya, saya asli orang sini(tempat tinggalnya)." kata Bapak itu sambil menunjuk namanya yang ada di KK dengan jarinya.
"Oh, begitu ya Pak? saya kira bisa dari masjid dekat rumah Bapak beri bantuan." ucap Fulan sambil mengangguk-angguk.
"Nggak bisa, dari mereka nggak ada yang peduli. Saya udah coba ke (sensor), ke (sensor), ke (sensor). Semua bilang tunggu satu bulan untuk survey, ikut prosedur. Iya kalau Ibu saya bisa nunggu satu bulan, dia di rumah udah jengap-jengap gitu. Apa bisa jamin sampai satu bulan?" tanya Bapak itu.
Fulan semakin prihatin, tapi ia sedang tidak dapat menolong. Fulan juga tidak menyangka bahwa Bapak ini tidak ada yang ingin menolongnya.
"Saya nggak minta mereka kasihan dengan saya, saya hanya minta mereka kasihan dengan ibu saya saja, ini saya ke sini pergi mulung, sepeda saya rusak. Baru dapat Rp 20.000, uang kontrakan udah sampai, uang BPJS juga udah sampai," ujar Bapak itu.
"Saya hanya bisa pasrah, mohon pertolongan, saya shalat sunnah tadi, minta sama Allah semoga diberikan jalan keluar, mohon diampuni dosa-dosa saya. Tapi kalau hari ini saya masih nggak dapat, saya bisa aja balik ke Kong Hu Cu. Minta ke Yayasan, mereka bisa nolongnya," ujar Bapak itu.
Fulan tersentak, saudara sesama muslimnya yang masih baru dalam agama islam ini bisa saja berpindah ke keyakinan dahulunya jika ia tidak diberikan perhatian lebih oleh saudara muslim yang lain.
"Memang Yayasan bisa bantu ya Pak?" tanya Fulan.
"Mereka bisa bantu, kita hanya tinggal tunjukkan KK. Nanti mereka yang berikan biayanya, mereka memang ada biaya untuk itu."
Fulan hanya bisa terdiam, ia tak tahu mau bicara apa. Ingin rasanya memberi sedikit pencerahan, namun ia takut hal itu tidak sampai ke hati Bapak itu.
"Saya nggak tahu lagi, kalau jual sepeda hanya laku Rp 30.000, sudah saya tanya. Itu masih belum cukup untuk bayar BPJS," ucap Bapak itu, "Nggak, adek nggak usah gimana-gimana dengan saya. Ini saya hanya cerita, kalau nanti ibu saya nggak bisa tertolong. Makanya saya tanya soal gimana pemakaman secara muslim, karena jujur saya nggak ada uang,"
"Ya sudah ya, saya lanjut jalan dulu." ucap sang Bapak mencoba berdiri. "Assalamu'alaikum,"
"Wa'alaikumussallam Warahmatullahi Wabarakatuh, semoga Allah berikan jalan keluar ya Pak," kata Fulan.
"Iya," jawab sang Bapak.
"Nanti saya coba sampaikan ke saudara-saudara sesama muslim saya, semoga nanti kalau ada orang-orang seperti Bapak agar dibantu," ucap Fulan sebelum sang Bapak itu pergi.
Bapak itu berlalu pergi, Fulan hanya bisa terdiam. Mungkin Allah mengirimkan Bapak ini padanya pagi itu untuk memberinya pelajaran berharga, bahwa masih banyak saudara-saudara sesama muslim kita yang masih membutuhkan uluran tangan kita, apalagi bagi mereka yang masih baru dalam memeluk agama yang mulia ini.
Pelajaran lainnya juga untuk memperlihatkan pada Fulan bahwa dibalik masalah hidup yang ia hadapi, rupanya masih ada yang lebih sulit lagi ujiannya. Maka dari itu hendaknya kita senantiasa memperbaiki diri agar menjadi pribadi yang lebih baik lagi
Catatan :
Cerita di atas adalah kisah nyata, Penulis harap para pembaca dapat mengambil pelajaran dari apa yang sudah dibaca dalam cerpen ini. Sengaja saya tulis dalam bentuk CerPen agar para pembaca lebih merasakan suasana & atmosfir dari realita yang dialami. Semoga kita semua termasuk orang-orang yang dapat membantu sesama 😊👍
SEE YOU NEXT TIME....
Dukung saya di Saweria
1 Komentar
Keren, Semangat terus
BalasHapus